BI dan ADB Catat Warung Masif Adopsi Layanan Fintech saat Pandemi
Penggunaan layanan teknologi finansial (fintech) meningkat saat pandemi corona. Bank Indonesia (BI) dan Asian Development Bank (ADB) menilai, warung menjadi salah sektor yang berpotensi mengadopsi layanan digital ini secara masif.
Senior Financial Sector Specialist ADB Mohammad Sani Ismail mencatat, ada banyak warung di Indonesia yang mengadopsi layanan digital. Bukan hanya fintech pembayaran, tetapi juga distribusi barang dagangan hingga pencatatan penjualan.
Digitalisasi bisnis itu membuat transaksi warung tercatat otomatis, sehingga bisa menjadi basis untuk mengajukan kredit. “Data ini dapat diakses oleh bank,” kata Sani dalam acara Fintech Summit 2020 bertajuk ‘Navigating Payment System to Unlock the Potential of Digital Economy in the Era of Continuous Disruption’, Rabu (11/11).
Hal itu akan memudahkan pemilik warung mengakses pinjaman perbankan, dan mengembangkan usahanya. Ini akan meningkatkan inklusi keuangan yang mencapai 76% pada tahun lalu.
Di satu sisi, ia menyoroti literasi digital dan keuangan masyarakat dan pelaku UMKM di Indonesia. “Literasi mampu menjaga ekosistem di samping pemanfaatan layanan fintech, dan mengantisipasi kejahatan,” kata dia.
Berdasarkan Global World Digital Competitiveness Index yang dirilis oleh Institute for Management Development (IMD), literasi digital Indonesia menempati urutan 56 dari 63 negara.
BI pun menyadari masifnya penggunaan layanan fintech oleh masyarakat maupun pemilik warung di Indonesia. “Kami bersiap atas masifnya penetrasi digital dengan membangun infrastruktur, termasuk regulasi,” kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Erwin Haryono.
Salah satu yang disiapkan BI yakni kode Quick Response (QR) standar atau QRIS. Layanan ini sudah digunakan oleh 5,2 juta mitra penjual (merchant), termasuk warung. Jumlahnya melonjak dibandingkan Juli lalu yang hanya empat juta, sebagaimana Databoks berikut:
BI pun mencatat bahwa rata-rata nilai transaksi uang elektronik selama Januari-Juli atau pandemi virus corona mencapai Rp 16,7 triliun per bulan. Nilainya meningkat 59% secara tahunan (year on year/yoy).
Pada tahun ini, nilai transaksi tertinggi terjadi pada April Rp 17,5 triliun. Ini seiring dengan mulai diterapkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta.
“Pembayaran di Indonesia ke depan bukan lagi uang tunai ataupun kartu, tetapi melalui ponsel pintar (smartphone),” kata Erwin. Hanya, ia tidak mengungkapkan proyeksinya seputar kapan layanan pembayaran digital mendominasi transaksi di Tanah Air.
Sedangkan dari penggunaan QRIS, BI mendapatkan insights seputar transaksi di ekosistem. Data-data ini dinilai penting untuk penilaian risiko kredit (credit scoring) bagi lembaga keuangan, baik bank maupun fintech dalam menganalisis pengajuan pinjaman.