Startup teknologi finansial (fintech) merupakan yang paling banyak memperoleh pendanaan pada tahun ini. Co-Founder sekaligus CEO Jianpu Technology yang juga merupakan investor asal Tiongkok David Ye mengatakan, sektor ini akan semakin diminati jika ada regulasi perlindungan data di Indonesia.
Aturan tersebut akan memperkuat perlindungan data konsumen dan memberikan kepastian hukum. Selain itu, masyarakat bakal semakin percaya untuk menggunakan layanan fintech.
Regulasi tersebut juga akan mempersulit pergerakan fintech ilegal di Tanah Air. Dengan begitu, bisnis teknologi finansial resmi akan berkembang. “Mereka (investor) pasti akan datang,” kata Ye dalam acara Fintech Talk bagian dari Fintech Summit 2020, Senin (16/11).
Pemerintah Tiongkok sudah menerapkan aturan perlindungan data pribadi sejak 2017. Ini mengatur tentang kewajiban pengelolaan data konsumen oleh setiap entitas, termasuk fintech.
Aturan itu juga memuat transmisi data lintas-negara. Selain itu, ada sanksi administrasi dan pidana bagi perusahaan yang menggalar.
Dengan adanya kebijakan tersebut, industri fintech di Negeri Panda tumbuh pesat. Berdasarkan data Statista, pendapatan sektor ini di Negeri Tirai Bambu tumbuh 20 kali lipat lebih sepanjang 2013 hingga 2019.
Pendapatannya naik dari 69 miliar yuan pada 2013 menjadi sekitar 1,5 triliun yuan tahun lalu. "Mereka (investor) sangat memperhatikan perlindungan data,” kata Ye.
Fintech kategori pembayaran mendominasi industri di Tiongkok. Pada 2019, lebih dari 832 juta orang menggunakan layanan pembayaran digital.
Tahun ini, 18 startup skala unicorn di Negeri Tembok Besar bahkan merambah fintech. Gabungan nilai pasar dari seluruh unicorn fintech itu mencapai US$ 239 miliar.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Mercy Simorangkir mengatakan, regulasi memang menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya investasi. "Di Indonesia, ada perkembangan regulasi. Ini akan mendukung investasi," katanya.
Aturan yang dimaksud yakni Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang ditarget rampung pada akhir tahun ini. "Ini menjadi fundamental dan penting karena mendorong perkembangan fintech," ujarnya.
Apalagi, riset dari Palo Alto Networks menunjukkan bahwa 62% dari 400 responden menyebut, sistem pembayaran digital berpeluang diretas. Responden yang disurvei menjabat posisi manajemen perusahaan terkait teknologi informasi (IT) di Thailand, Indonesia, Filipina, dan Singapura. Survei dilakukan selama 6-15 Februari lalu.
Begitu juga dengan hasil Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) yang menunjukkan, 22% platform fintech pembayaran dan 18% pembiayaan pernah mengalami serangan siber. Sebanyak 95% dari 154 fintech mengaku, kurang dari 100 penggunanya mengalami serangan siber pada tahun lalu.
Selain data, kesiapan infrastruktur berpengaruh terhadap bisnis fintech dan investasi. Persoalan lainnya yakni sumber daya manusia (SDM) dan kesenjangan (gap) talenta digital.
Di tengah beragam tantangan itu, transaksi menggunakan uang elektronik di Indonesia terus tumbuh. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:
Untuk kategori fintech pembiayaan (lending), penyaluran pinjaman mencapai Rp 128,7 triliun per kuartal III. Sedangkan jumlah akun peminjam (borrower) 29,2 juta.