Larangan OJK kepada Bank Dinilai Menghambat Pembentukan Bursa Kripto

Katadata
Ilustrasi bitcoin
Penulis: Desy Setyowati
8/2/2022, 15.57 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang bank memfasilitasi transaksi kripto seperti bitcoin, ethereum hingga dogecoin. Ekonom menilai langkah ini tak selaras dengan kebijakan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Sebab Bappebti sudah merancang aturan terkait perdagangan dan pedagang kripto secara resmi. Ini artinya, selama transaksi dilakukan oleh perusahaan terkait, terdaftar, dan diatasi oleh Bappebti, perdagangan kripto semestinya diperbolehkan.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai, skema perdagangan kripto layaknya komoditas ataupun produk derivatif  lainnya.

“Bappebti berupaya memfasilitasi industri ini, tapi ada institusi lain yang punya pandangan berbeda. OJK dan Bappebti ini ngobrol dululah. Tren aset kripto ini kan sudah jalan beberapa tahun terakhir,” kata Nailul dalam keterangan pers, Selasa (8/2).

Dia menilai, OJK masih mempersepsikan aset kripto berpotensi sebagai alat tukar layaknya uang fiat. Namun peraturan perundang-undangan di Tanah Air sudah menegaskan bahwa alat tukar resmi adalah rupiah.

“Sejak awal ketika Bapppebti memfasilitasinya (aset kripto), kesepakatannya di Indonesia hanya boleh digunakan sebagai aset investasi, bukan alat transaksi,” ujar dia.

Oleh karena itu, dia menilai ada kejanggalan dengan imbauan OJK agar perbankan tidak  memfasilitasi transaksi aset kripto. Sebab, investor tidak bisa membeli atau berinvestasi aset kripto tanpa menggunakan rekening bank sebagai jembatan.

“Ini aset digital. Apakah iya beli dan jual lewat pedagang langsung secara offline,” kata Nailul.

Dia menambahkan, OJK berhak dan berwenang mengatur dan melarang perbankan dalam ekosistem aset kripto. Namun ini dalam hal penempatan dana bank ke dalam bentuk aset kripto.

Sebab, dana di bank milik masyarakat. “Mereka tidak boleh main-main menempatkan dana nasabah, terutama di aset yang punya fluktuasi tinggi,” katanya.

Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menambahkan, gesekan dengan OJK akan berdampak pada terlambatnya peluncuran bursa kripto. Sebab, fungsi lembaga keuangan, dalam hal ini bank, sebagai kustodian untuk perdagangan  aset kripto.

Kustodian itu paling penting posisinya. “Jadi saya tidak heran kenapa peluncuran bursa kripto molor terus dari semester kedua 2021. Rupanya ada deadlock antara Bappebti dan OJK dalam melaksanakan perdagangan aset kripto yang diakui negara,” kata dia.

Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh K Harmanda mengklaim, asosiasi berupaya menempatkan perdagangan kripto sesuai aturan main. Selain itu, melengkapi perlindungan hukum.

“Industri ini sudah menerapkan rekomendasi terhadap APU/PPT, adanya pelaporan yang diwajibkan oleh Bappebti setiap harinya, dan melaporkan jika menemukan transaksi mencurigakan,” ujar Teguh.

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo menilai, kebijakan masing-masing otoritas tidak perlu dipertentangkan. Sebab, semua aturan bertujuan upaya melindungi masyarakat.

“Wilayah OJK berkaitan dengan perbankan, yang pasti bank paham betul hal yang dilarang termasuk jika penggunaan rekening itu dapat dianggap memfasilitasi kegiatan melanggar hukum,” kata Anto kepada Katadata.co.id, Selasa (8/2).

Bank tidak boleh melakukan transaksi atau trading komoditi. “Bahkan, tidak boleh menjadi agen penjual komoditi,” katanya.

Menurutnya, ekonom dan pelaku usaha di bidang kripto juga perlu mengedukasi masyarakat terkait investasi aset digital. Perlu juga memberi tahu soal lembaga mana yang memberikan izin, mengawasi, dan instansi mana yang menangani perselisihan.