Mayoritas startup teknologi finansial atau fintech termasuk pinjaman online atau pinjol dan pembayaran menggunakan pusat data milik Alibaba dan Amazon untuk mempercayakan manajemen data.
Hal itu tertuang dalam laporan AFTECH Annual Members Survey 2022/2023 yang dibuat oleh AFTECH dan Katadata Insight Center, didukung oleh Women's World Banking.
Riset dilakukan selama kuartal II, dengan menggabungkan penelitian primer dan sekunder dalam menganalisis data. Ada 75 responden yang berpartisipasi.
“Sebanyak 56% responden menggunakan jasa pihak ketiga,” demikian dikutip dari laporan tersebut, Senin (28/8). Rincian layanan pusat data pihak ketiga yang dipilih oleh startup fintech sebagai berikut:
- Alibaba Cloud 28,6%
- Amazon Web Service 14,3%
- Indo Internet 11,9%
- Lintasarta 7,1%
- Telkom Sigma 7,1%
- Google Cloud 4,8%
- GWS Cloud 2,4%
- Lainnya 23,8%
Sebanyak 92,9% pusat data milik pihak ketiga berada di Jabodetabek.
Meski begitu, startup fintech yang menggunakan pusat data sendiri meningkat dari 37% pada 2021 menjadi 44% tahun ini. Sebanyak 97% berada di Jabodetabek.
Startup fintech yang memilih untuk membangun pusat data sendiri bertujuan meningkatkan kontrol perusahaan atas data, peningkatan keamanan, serta mempermudah pemantauan dan manajemen data.
Para responden merasa regulasi cukup mendukung inovasi dan investasi di industri fintech Indonesia. Namun ada kebijakan lain yang dipandang dapat ditingkatkan, di antaranya:
- 62,9% privasi dan keamanan data
- 60% kejelasan peraturan
- 54,7% e-KYC
- 49,3% kecepatan perizinan dan penghapusan birokrasi
- 42,7% tanda tangan digital
- 40% regulatory sandbox
- 36% identitas digital
- 32% peningkatan insentif pajak untuk investasi di fintech
- 29,3% Edukasi dan pelatihan untuk fintech tahap awal
- 29,3% pembebasan pajak capital gain untuk fintech
- 21,3% peningkatan budget untuk infrastruktur digital
- 20% protokol open data
- 18,7% peningkatan kemitraan publik-swasta
- 13,3% peluang untuk lebih banyak tender pemerintah
- 1,3% credit scoring
Sebagai upaya dalam meningkatkan keamanan siber, 100% responden menyatakan telah melakukan prosedur backup data. Frekuensi backup data startup fintech di Indonesia yakni:
- Per hari 25,4%
- Per minggu 34,7%
- Per bulan 21,3%
- Per 2 bulan 2,7%
- Per kuartal 5,3%
- Per semester 1,3%
- Per tahun 5,3%
- Lainnya 4,0%
Startup fintech menjalankan Disaster Recovery Plan alias DRP untuk menghadapi insiden tak terduga seperti gangguan atau downtime. Kewajiban untuk memiliki DRP juga tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau POJK Nomor 4/POJK.05/2021 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Lembaga Jasa Keuangan Nonbank.
Sebanyak 97,3% responden sudah memiliki DRP. Jenis Disaster Recovery Plan yang diterapkan oleh startup fintech, yakni:
- DRP - pusat data 64,0%
- DRP - cloud 60,0%
- DRP - jaringan 40,0%
- DRP tervirtualisasi 24,0%
- DRP sebagai layanan (DRaaS) 18,7%
- Cloud multizone 1,3%
Sebanyak 68,5% responden yang memiliki DRP yakin dapat beroperasi normal kembali kurang dari satu hari saat menghadapi bencana. Porsinya meningkat dibandingkan 2021 sebanyak 59%.
Rata-rata hari yang dibutuhkan DRP untuk kembali normal yakni:
- 68,5% : Kurang dari sehari
- 23,3% : 2-7 hari
- 4,1% : 7-14 hari
- 1,4% : 14-21 hari
- 1,4% : Lebih dari 21 hari
- 1,4% : Berdasarkan level kepentingan layanan pada analisis dampak bisnis
Sementara jenis keluhan pelanggan startup fintech di antaranya:
- Keterlambatan transaksi 38,7%
- Proses administrasi yang lama 17,3%
- Kegagalan sistem 13,3%
- Layanan buruk 4,0%
- Biaya layanan tinggi 1,3%
- Lainnya 25,3%
Jumlah keluhan yang terselesaikan;
- 0% terselesaikan 13,3%
- 1-20% terselesaikan 13,3%
- 20 - 40% terselesaikan 1,3%
- 50-60% terselesaikan 1,3%
- > 60% terselesaikan 70,7%
Rata-rata waktu untuk menyelesaikan keluhan pelanggan yakni:
- Kurang dari sehari 38,7%
- 2-7 hari 53,3%
- 8-14 hari 5,3%
- Lebih dari 14 hari 2,7%