Utilitas Palapa Ring Timur Minim, Operator Seluler Butuh Dana Besar

Palapa Timur Telematika
Ilustrasi, proses pembangunan proyek palapa ring timur menggunakan helikopter
22/9/2020, 09.48 WIB

Palapa Timur Telematika selaku pengelola palapa ring timur mencatat pemanfaatan proyek tol langit ini rendah. Salah satu penyebabnya adalah operator seluler yang dinilai kurang memanfaatkan infrastruktur ini.

Utilitarian palapa ring timur hanya 14% untuk fiber optik dan 45% yang microwave per September. Padahal proyek ini selesai pada akhir tahun lalu.

VP Field Operation Palapa Timur Telematika Radiws Darwan mengatakan, proyek tol langit itu merupakan tulang punggung (backbone) serat optik. Oleh karena itu, butuh peran operator telekomunikasi untuk bisa menghadirkan akses internet cepat di Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Papua Barat dan Papua.

Namun operator seluler mempertimbangkan banyak hal untuk masuk ke palapa ring timur. Pertimbangan itu di antaranya populasi penduduk, potensi pengguna data dan ekonomi daerah, skala perekonomian masyarakat hingga nilai strategis suatu wilayah.

Di satu sisi, ada kesenjangan jumlah penduduk antarwilayah di cakupan palapa ring timur. Selain itu, pemeliharaan infrastrukturnya dinilai rumit dari sisi geografis, keadaan alam, faktor cuaca, bencana alam hingga vandalisme.

Apalagi banyak menara yang berada di ketinggian tiga ribu meter. "Saat ini pengoperasian dan pengelolaan jaringan telekomunikasi serat optik palapa ring timur masih terus dilakukan, meski dengan tantangan dan keterbatasan," kata Radiws dikutip dari siaran pers, kemarin (21/9).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys pun menjelaskan, operator telekomunikasi merupakan entitas bisnis. Oleh karena itu, ada beberapa indikator yang dipertimbangkan sebelum memutuskan berinvestasi.

Apabila daerah yang secara teknis dan komersial dinilai tidak layak atau feasible, maka operator menyebutnya sebagai Universal Service Obligation (USO). Wilayah ini dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah.

“Pemerintah akan membangunnya dengan menggunakan dana USO yang dikumpulkan dari para operator,” kata dia. Dana USO merupakan pungutan 1,25% dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi per tahun.

Selain itu, banyak titik koneksi palapa ring timur yang sulit disambungkan ke titik jaringan milik operator. "Kami masih harus membangun last-mile connection untuk bisa menggunakan jaringan palapa ring itu," kata Merza kepada Katadata.co.id, Selasa (22/9). 

Sedangkan butuh dana besar untuk membangun last-mile connection, karena jarak atau tingkat kesulitannya.

Palapa ring timur merupakan yang terbesar dibandingkan barat dan tengah. Panjangnya 2.453 kilometer untuk kabel serat optik darat dan 4.426 kilometer laut.

Proyek tol langit di timur juga dilengkapi dengan konstruksi 52 menara tower microwave dan 49 unit HOP. Ini untuk menjangkau 35 kabupaten/kota di empat provinsi.

Palapa ring berfokus menghubungkan internet di seluruh Indonesia. Selain itu, untuk mengikis kesenjangan koneksi internet pita lebar (broadband) antara Pulau Jawa dengan wilayah lainnya.

Apalagi  koneksi internet sangat dibutuhkan saat pandemi corona. Bagi pendidikan misalnya, pelajar dan guru membutuhkan layanan ini guna menggelar pembelajaran jarak jauh.

Namun pelajar dan guru terutama di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) kesulitan belajar online saat pandemi Covid-19.

Media asing bahkan menyoroti kesulitan pelajar Indonesia untuk mengakses internet di beberapa wilayah. New York Times melaporkan bahwa lebih dari sepertiga siswa terkendala akses internet, terutama di wilayah 3T. 

"Saat sekolah meminta kami belajar di rumah, saya bingung karena tidak ada sinyal," kata salah satu siswi, Siti Salma Putri Salsabila (13 tahun), dikutip dari New York Times, beberapa waktu lalu (5/9).

Siswa kelas 9, Dewi Listiani bahkan mengaku harus menghabiskan waktu berjam-jam berdiri di dapur untuk mendapatkan sinyal internet. "Ada tempat tertentu di dapur di rumah saya yang jaringannya stabil. Saya gantung ponsel di dinding," ujar pelajar asal Jawa Tengah, dikutip dari Arab News, beberapa waktu lalu (9/9).

Padahal data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan per 13 April menunjukkan, ada 68,73 juta siswa yang harus belajar dari rumah. Sebanyak 41,6% di antaranya merupakan pelajar tingkat sekolah dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah/sederajat.

Lalu 19% merupakan siswa tingkat sekolah menengah pertama (SMP)/MTs/sederaja. Sekitar 6% lainnya yakni pengajar. 

Direktur Utama BAKTI Kominfo Anang Latif mengakui, masih ada 12.548 desa yang belum terakses internet generasi keempat atau 4G. "Belum mendapatkan fasilitas internet baik," kata dia kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu (17/9).

Rinciannya, 9.113 desa berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T. Sedangkan 3.435 lainnya di luar wilayah itu, sehingga menjadi tanggung jawab operator seluler untuk menyediakan 4G.

"BAKTI dapat mandat untuk merancang dan menyelesaikan infrastruktur ini dalam dua tahun, hingga akhir 2022," kata Anang.

Berdasarkan data indeks internet inklusif (Inclusive Internet Index) dari Economist Intelligence Unit, cakupan pengguna Internet di Tanah Air sebenarnya cukup luas. Sektor rumah tangga pengguna internet Indonesia mencapai 66,2%.

Angka tersebut melebihi rata-rata negara di Asia yang hanya 59,7%. Sekitar 93% dari 267 juta penduduk juga sudah mengakses layanan 4G.

Namun kecepatan internet di Indonesia hanya 14,4 Kbps, jauh di bawah rata-rata negara Asia 30,9 Kbps. Kecepatan mengunggah data juga hanya 10,9 Kbps, sementara rerata Asia 12,9 Kbps.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan