Kembangkan 5G, Kominfo Cari Cara Atasi Hambatan di Frekuensi 3,5 Ghz

ANTARA FOTO/IGGOY EL FITRA
Ilustrasi, teknisi memperbaiki perangkat di Base Transceiver Station (BTS) salah satu provider seluler, untuk sinyal yang lebih baik, di Bungus Teluk Kabung, Padang, Sumatera Barat, Senin (12/8/2019).
2/12/2019, 14.57 WIB

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana menggunakan frekuensi 3,5 Ghz untuk mengimplementasikan jaringan internet generasi kelima (5G). Namun, frekuensi itu juga dipakai untuk satelit.

Karena itu, Kementerian Kominfo bakal membuat penyekat (guard band) antara 5G dan satelit di frekuensi tersebut. “Tujuannya supaya tidak saling mengganggu," kata Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Ismail di sela-sela acara Telco Outlook 2020 di Jakarta, hari ini (2/12).

Jika skema itu diterapkan, maka akan ada pita di frekuensi 3,5 Ghz yang dikosongkan untuk menjadi guard band. Saat ini, Kominfo mengkaji lebar pita yang dibutuhkan untuk layanan 5G di Indonesia.

Sebenarnya, Kementerian Kominfo memiliki tiga opsi frekuensi untuk 5G yakni lower band 3,5 Ghz, middle band 2,6 Ghz, dan upper band 2,8 Ghz. Frekuensi 3,5 Ghz merupakan prioritas.

Namun, frekuensi tersebut digunakan untuk satelit guna kepentingan nasional, seperti internet di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T) Indonesia. Meski begitu, Kementerian Kominfo melihat ada peluang mengambil celah pada frekuensi itu untuk 5G tanpa mengganggu satelit.

(Baca: Teknologi 5G Bisa Diterapkan di 2022, Potensi Bisnisnya Capai Rp 27 T)

Saat ini, baru Telkomsel menguji coba frekuensi 3,5 Ghz untuk 5G. Perusahaan milik negara itu juga menggunakan satelit milik Telkom untuk menyediakan layanan internet generasi kelima itu.

Beberapa perusahaan telekomunikasi juga sudah mengimplementasikan 5G menggunakan frekuensi 2,6 Ghz dan 2,8 Ghz. Berdasarkan kajian, frekuensi 3,5 Ghz dan 2,6 Ghz dinilai mumpuni.

Sebelumnya, Ismail mengatakan bahwa Kominfo mempertimbangkan empat faktor pengembangan 5G. Pertama, waktu yang pas mengimplementasikan 5G. "Tujuannya menghindari market failure (kegagalan pasar) dari sisi permintaan dan suplai,” kata dia, Rabu (27/11) lalu.

Kedua, mendorong operator untuk berbagi infrastuktur (infrastructure sharing). Riset McKinsey menunjukkan, berbagi infrastruktur mengurangi biaya investasi 5G hingga 40%.

(Baca: Kominfo Kaji Empat Faktor Pengembangan 5G di Indonesia)

Menurut Ismail, operator di Indonesia belum bisa bersinergi terkait infrastruktur. "Indonesia masih dalam kondisi yang belum seimbang antaroperator yang sharing infrastruktur. Jadi pemecahan masalahnya terlebih dahulu," katanya.

Ketiga, bisnis model inovatif. Ismail mengatakan, pentingnya menentukan bisnis model yang inovatif agar implementasi 5G bisa maksimal, bukan hanya untuk komersial tetapi juga publik.

"Kami perlu memikirkan kontribusi 5G untuk kepentingan sumber daya manusia (SDM), sektor pendidikan, kesehatan hingga masyarakat di pelosok Tanah Air,” kata dia. Karena itu, operator perlu mengembangkan model bisnis kreatif.

Terakhir, kolaborasi dan perluasan jaringan. Dari penggelaran 5G yang sudah ada, perlu kolaborasi antarperusahaan telekomunikasi dan memperluas lini bisnis. "Ini berkaitan dengan pengambilan keputusan antaroperator mengenai permintaan, suplai, dan ekosistem. Perlu pertimbangan menyeluruh,” katanya.

(Baca: Menteri Kominfo Target Kecepatan Internet Naik 3,5 Kali Lipat di 2035)

Reporter: Cindy Mutia Annur