Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memperlambat akses internet di beberapa wilayah di Papua sejak Senin (19/8). Tak menyurutkan unjuk rasa di berbagai wilayah, pemblokiran dilanjutkan pada 21 Agustus 2019 dan masih berlangsung hingga kini.
“Tujuan throttling atau perlambatan akses untuk mencegah luasnya penyebaran hoaks yang memicu aksi,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu kepada Katadata.co.id, Senin (19/8).
Kominfo menggunakan pasal 40 Undang-Undang ITE dengan penekanan pada pasal 21 tentang kewajiban pemerintah untuk melakukan pembatasan dengan alasan ketertiban umum sebagai dasar hukum.
Blokir internet di Papua, juga yang pernah dilakukan di Jakarta saat kerusuhan 22 Mei 2019 lalu, menunjukkan pola serupa dengan sejumlah negara kala pemerintah merespons krisis politik.
Di Mesir misalnya, ada gelombang protes besar untuk menurunkan Hosni Mubarak, delapan tahun silam. Peristiwa ini adalah bagian dari Arab Spring yang terjadi di beberapa negara di kawasan Timur Tengah.
(Baca: Panggil Kominfo, Ombudsman Desak Akses Internet Papua Dipulihkan)
Organisasi massa dalam berbagai protes itu masif dilakukan lewat media sosial, terutama Facebook dan Twitter. Pemerintahan Mubarak merespons dengan memutus akses ke Facebook serta Twitter demi “stabilitas nasional”.
Tak hilang akal, seperti dilaporkan Al Jazeera, masyarakat Mesir menggunakan proksi untuk tetap mengakses internet.
Sensor internet di tengah krisis politik juga pernah terjadi Sudan. Januari 2019 lalu, Reuters melaporkan pemerintah Sudan memblokir akses media sosial setelah dua minggu berturut-turut masyarakat turun ke jalan. Mereka menuntut pertanggungjawaban pemerintah akibat krisis ekonomi yang tak berkesudahan.
Dari total 40 juta penduduk, sekitar 13 juta menggunakan internet. Tagar berbunyi #SudanRevolts menyertai percakapan warganet sepanjang protes berlangsung.
Kemudian, di Venezuela, internet diblokir seiring memanasnya konflik antara pemerintahan Presiden Nicolas Maduro dan kelompok oposisi yang dipimpin Juan Guaido.
(Baca: Temui Rudiantara, LSM Kritik Prosedur Pembatasan Internet Papua)
Sensor internet sebagai metode pembatasan informasi juga berlangsung di Rusia. Mei silam, Presiden Vladimir Putin resmi menandatangani peraturan tentang "kedaulatan internet" atau populer dengan sebutan “Runet”.
Rusia memang dikenal tak ragu menghukum warganya yang dianggap berulah di dunia internet. Maret lalu misalnya, seperti diberitakan CNN, parlemen Rusia mengesahkan aturan yang memungkinkan warganya dipenjara atas dakwaan menyebarkan hoaks dan unggahan-unggahan yang menyerang pemerintah di internet.
Dengan aturan itu, siapa pun warga Rusia yang terbukti menyebarkan hoaks atau menyinggung pemerintah dapat diancam penjara selama 15 hari atau denda antara 3.000-5.000 rubel (sekitar Rp 600 ribu – Rp 1 juta). Jika yang melakukan pelanggaran adalah lembaga berbadan hukum, denda yang dikenakan bisa mencapai 955.000 rubel atau Rp 200 juta lebih.
Bagaimanapun, Tiongkok adalah juara dalam urusan pembatasan akses internet. Tak lama usai internet masuk ke Tiongkok pada awal 1996, pemerintah langsung membangun sistem yang dikenal sebagai The Great Firewall of China guna membatasi akses ke dunia maya.
(Baca: Penjelasan Kominfo Atas Kritik LSM Soal Pembatasan Internet di Papua)
Tak hanya mempengaruhi gerakan-gerakan politik, pemblokiran internet dapat mengganggu aktivitas bisnis. Laporan lembaga think tank yang berlokasi di Washington Brookings Institution menyebut bahwa ekonomi global mengalami kerugian $ 2,4 miliar akibat pembatasan internet antara 2015 - 2016.
Pada 2016, PBB menyatakan internet termasuk bagian dari hak asasi manusia. Meski, PBB belum efektif untuk mencegah pembatasan internet di berbagai negara.Top of Form