Sebanyak 20 perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara di kantornya, hari ini (26/8). Sejumlah LSM menyampaikan somasi atau teguran yang kedua kepada pemerintah terkait dibukanya kembali pembatasan internet di Papua dan Papua Barat pasca-kericuhan pertengahan Agustus lalu.
Adapun 20 LSM tersebut adalah YLBHI, KontraS, LBH Pers, ICJR, SAFEnet, Amnesty International Indonesia, Yayasan Pustaka, AJI, Greenpeace, Perkumpulan Jubi, ELSAM, Yayasan Satu Keadilan, Federasi KontraS, Vivat Indonesia, AJAR, Walhi, YPII, PAHAM Papua, GARDA-P, dan FIM-WP.
Direktur Eksekutif South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan, ada tiga poin utama dari hasil pertemuan tadi. Pertama, belum adanya kejelasan mengenai pembatasan akses internet Papua akan dibuka.
Kedua, mengenai dasar hukum yang digunakan pasal 40 Undang-Undang ITE dengan penekanan pada pasal 21 tentang kewajiban pemerintah untuk melakukan pembatasan dengan alasan ketertiban umum.
"Yang ketiga ini menarik disampaikan Rudiantara dan kami kecewa bahwa tidak adanya SOP (standard operating procedure) kementerian dalam praktek pembatasan akses informasi ini," ujar Damar saat ditemui di kantor Kominfo, Senin (26/8).
Damar mengatakan pembatasan akses internet Papua berakibat pada terhambatnya akses komunikasi pada layanan publik BPJS, perekonomian pada UMKM online, hingga pariwisata di wilayah setempat. "Jadi masyarakat tidak bisa beraktivitas seperti biasa," ujarnya.
(Baca: LSM Unjuk Rasa di Depan Kominfo Minta Akses Internet Papua Dibuka)
Pemblokiran akses internet di Papua, menurut dia seharusnya dilakukan dengan bijak dan memerhatikan berbagai aspek lain, di samping masalah keamanan dan ketertiban umum. "Perhatikan juga aspek kemanusiaan tentang orang-orang yang bergantung hidupnya pada internet," ujarnya.
Dia menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tak efektif menangkal hoaks di Papua dan Papua Barat. Hal ini justru, malah membuat masyarakat penyebar hoaks berpindah ke media penyebaran lain seperti lewat pesan singkat SMS.
"Kemudian apabila (penyebaran hoaks) dilanjutkan dengan pemblokiran SMS, mereka akan pindah medium lagi. Misalnya (penyebaran hoaks) lewat mulut ke mulut, apakah kemudian langkahnya adalah membungkam setiap mulut untuk tidak berkata seperti itu?" ujarnya.
Kebijakan pemblokiran internet dianggap terlalu instan dan justru tidak menyelesaikan masalah. "Tidak efektif sama sekali, justru malah merugikan banyak pihak," ujarnya.
Pemerintah diminta mencari cara yang lebih bijak dalam mengatasi persoalan isu hoaks. Salah satu yang perlu dipastikan adalah apakah situasi di wilayah tersebut sudah benar-benar dalam kondisi darurat, sehingga perlu dilakukan pembatasan akses.
Damar juga menilai, langkah yang paling tepat untuk mengatasi hoaks, menurutnya dengan mekanisme cyber crime. "Padahal di tempat-tempat lain penyebaran hoaks ditangkap dengan mekanisme UU ITE, cyrber crime," ujarnya.
Dengan begitu, pemerintah tidak perlu melakukan pembatasan akses internet menyeluruh di satu wilayah hingga menyebabkan kerugian bagi masyarakat setempat.
Ke depan, ia berharap Kominfo bisa segera mengambi tindakan perihal temuan ketiadaan SOP pembatasan akses internet di Papua. Selanjutnya, pihak LSM juga akan bertemu juga dengan pihak stakeholder terkait, yang memutuskan kebijakan pembatasan internet.
Dalam keterangan sebelumnya, Kominfo menyatakan pihaknya hanya menjadi pelaksana teknis terkait kebijakan pembatasan akses internet di Papua. Sedangkan, pengambil keputusan pemblokiran internet berasal dari kementerian lain. "Maka kami akan menghadap para pihak yang benar-benar mengambil keputusan (pembatasan internet)," ujarnya.
(Baca: Alasan Kominfo Perpanjang Pembatasan Internet di Papua)
Direktur Vivat Indonesia Paulus Rahmat mengatakan, situasi konflik di Papua dan Papua Barat yang diikuti dengan pembatasan akses internet justru membuat wilayah tersebut terisolir dari dunia luar.
Situasi ini juga bisa membahayakan masyarakat yang terdampak, karena akses informasi yang terbatas. "Kami melihat (dampak) ini dari sisi HAM, ini bisa memperburuk kondisi di sana dengan menutup akses informasi," ujarnya.
Pembatasan internet dikhawatirkan bakal berulang jika tidak ada SOP yang jelas. "Karena tidak ada mekanismenya, SOP tidak ada. Jadi selama ini siapa pun yang meminta (pembatasan akses), maka (pelaksana) teknis akan melakukan," ujarnya.
Berdasakan informasi yang dia terima, pembatasan akses internet masih terjadi di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat, seperti Jayapura, Sorong, Manokwari, dan beberapa kota besar lainnya. "(Pembatasan akses internet) sejak 23 Agustus. Jayapura per hari ini masih padam," ujarnya.
Dengan ketiadaan SOP, maka periode pemblokiran akses internet menjadi tidak jelas maupun pihak berwenang lain yang bisa kembali mengaktifkan.