Libra, mata uang digital milik Facebook, belum lagi diluncurkan tetapi banyak pihak menolak kehadirannya. Pendiri Facebook Mark Zuckerberg memiliki harapan besar terhadap Libra yang akan merevolusi transaksi keuangan dan menekan biaya pengiriman uang serendah mungkin. Namun, pihak=pihak yang tak setuju mengajukan dalil pelanggaran regulasi hingga alasan keamanan siber.
Salah satu pihak yang terang-terangan menolak kehadiran Libra adalah Presiden Amerika Serikat Donald Trump. “Saya bukanlah penggemar Bitcoin dan cryptocurrency lainnya, mereka bukanlah uang, dan nilainya sangat fluktuatif karena didasarkan pada hal yang tidak berwujud,” kata Trump dalam cuitan di akun Twitter-nya.
Cuitannya ini sontak menjadi topik di sejumlah media internasional karena disampaikan beberapa hari sebelum Facebook melakukan dengar pendapat dengan Komite Perbankan Parlemen Amerika Serikat (AS) pada 16 Juli kemarin. Alasan apa saja yang membuat Trump dan sejumlah anggota Parlemen AS menolak Libra?
Libra Tak Sesuai dengan Undang-Undang
Facebook rupanya menangkap sinyal penolakan yang berdatangan dari kalangan birokrasi. Sistem yang ditawarkan Libra dinilai masih perlu dikaji. Menanggapi hal tersebut , Kepala Calibra, David Marcus, menyatakan Facebook tidak akan meluncurkan Libra hingga Parlemen AS memberi restu untuk penggunaan uang digital tersebut.
“Ya, Libra akan mematuhi semua peraturan AS dan tidak diluncurkan sampai kekhawatiran anggota parlemen AS telah dijawab,” ujarnya seperti dikutip TechCrunch, Selasa, (16/7)
Harapan Facebook untuk merilis mata uang digital ini agaknya kian kabur seiring wacana penerbitan rancangan UU bernama “Keep Big Tech Out of Finance Act” yang sedang dikaji oleh Komite Jasa Keuangan Parlemen AS. RUU tersebut mengusulkan agar perusahaan teknologi yang memiliki platform daring dengan pendapatan lebih dari US$ 25 miliar per tahun dilarang menerbitkan mata uang kripto. Jika melanggar, mereka akan didenda sebesar US$ 1 juta per hari.
(Baca: Trump Minta Facebook Patuhi Aturan jika Ingin Luncurkan Libra)
Jika RUU ini resmi berlaku, jelas ini menjadi kabar buruk bagi Facebook. Pasalnya dengan aturan tersebut Facebook tentu tak dapat memuluskan peluncuran mata uang Libra di AS, mengingat perusahaan ini juga memenuhi syarat untuk disebut dalam RUU itu sebagai salah satu perusahaan yang dilarang menerbitkan mata uang kripto. Tahun lalu, Facebook membukukan pendapatan US$ 55 miliar atau dua kali lipat dari angka minimum yang disebutkan dalam RUU itu.
Libra juga bakal menghadapi kendala yang sama di Indonesia jika konsep yang dibawanya adalah sebagai mata uang yang setara dengan rupiah dan dapat dipergunakan sebagai alat transaksi. Berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa rupiah adalah mata uang Indonesia. Pasal 23 ayat (1) juga menyebutkan, masyarakat dilarang menolak rupiah jika dimaksudkan sebagai alat pembayaran, sehingga rupiah menjadi satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk bertransaksi.
(Baca: AS Siapkan Aturan Larang Perusahaan Teknologi Rilis Mata Uang Kripto)
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menyediakan regulasi khusus yang diatur dalam Permendag No. 99 tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset). Seperti Bitcoin, nantinya Libra hanya bersifat komoditas yang dapat dibeli dengan rupiah dan diperdagangkan di Bursa Berjangka, bukan sebagai mata uang. Pemerintah juga menyediakan badan khusus yang bertugas melakukan pembinaan, pengawasan, dan pembinaan Kripto, yakni melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter di Indonesia juga memiliki regulasi yang lebih rinci mengatur penggunaan mata uang rupiah ketimbang yang ada di UU Nomor 7 tahun 2011. Dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 17 tahun 2015 pasal 2 ayat (1) disebutkan, "Setiap pihak wajib menggunakan rupiah dalam transaksi yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Transaksi yang dimaksudkan meliputi berbagai transaksi keuangan, baik tunai maupun non-tunai. Pengecualiannya hanya pada transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan atau memberi hibah dari atau ke luar negeri, transaksi perdagangan internasional, simpanan dalam valuta asing (valas) di bank, dan transaksi pembiayaan internasional.
“Kami tegaskan, alat pembayaran sah di Indonesia itu rupiah. Itu yang diamanatkan oleh undang-undang. Jadi seluruh alat pembayaran apapun harus tunduk kepada peraturan BI,” ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo menanggapi wacana diluncurkannya Libra.
(Baca: Sejumlah Tantangan Bayangi Perkembangan Mata Uang Kripto di Indonesia)
Sistem Keamanan Data Digital dan Risiko Kejahatan Siber
Selain terbentur dengan regulasi, penolakan kian vokal seiring kekhawatiran terhadap kemungkinan mata uang digital ini akan membuka keran kejahatan siber. Tawarannya yang akan membangun iklim keuangan yang inklusif dan dapat diakses siapapun dengan mudah dikhawatirkan dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan penipuan, pemerasan, dan tindakan pencucian uang.
Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell meminta Parlemen AS untuk memastikan Libra memiliki sistem keamanan yang baik. Menurutnya, mega proyek Facebook itu hanya akan maju jika jaminan terhadap sistem keamanan data pengguna, keamanan dari kejahatan pencucian uang, perlindungan konsumen, dan stabilitas keuangan menjadi poin prioritas yang diusung oleh Libra.
Kekhawatiran ini rupanya beralasan seiring maraknya peretasan yang merugikan perusahaan bursa mata uang kripto, seperti di Jepang. Meski terbilang lebih maju dari segi pengembangan teknologi dan sudah ada izin yang memperbolehkan mata uang digital dalam transaksi keuangan, Jepang masih kewalahan mengatasi masalah ini.
Baru-baru ini kasus pembobolan kembali terjadi pada bursa penukaran mata uang kripto berlisensi Jepang, BITPoint pada Kamis (11/7). Peretas mencuri aset kripto perusahan senilai US$ 32 juta atau hampir Rp 450 miliar. Setelah pembobolan itu, BITPoint menutup sementara transaksi yang melalui sistemnya. Kasus pembobolan kripto yang lebih parah juga pernah terjadi pada 2014, saat itu salah satu perusahaan penukaran mata uang digital besar di Jepang, Mt Gox terpaksa bangkrut setelah merugi akibat ulah peretas.
Selain mempertanyakan jaminan keamanan, Parlemen AS juga menyoroti catatan buruk Facebook dalam pengelolaan data penggunanya. Apalagi Facebook baru saja tersandung skandal Cambridge Analytica yang menyebabkan kebocoran 87 juta data penggunanya. Keraguan itu kembali menyelimuti Parlemen yang mengkhawatirkan pengguna Libra akan bernasib sama.
(Baca: Delapan Keunggulan Libra, Mata Uang Digital Facebook )
Regulator AS juga mencurigai melemahnya pendapatan Facebook beberapa tahun belakangan membuat perusahaan yang bermarkas di Silicon Valley ini membuat mata uang Libra. Kekhawatiran itu didasarkan pada tuduhan dugaan penyalahgunaan miliaran data pengguna Facebook di dunia untuk kepentingan pengembangan proyek baru mereka. Apalagi jika mengintip kinerja kuartal pertama 2019, Facebook melaporkan memiliki 2,38 miliar pengguna aktif di dunia.
Jika tak ada halangan, Libra akan resmi diuncurkan pada semester pertama 2020. Kehadirannya diprediksi dapat menandingi jenis mata uang lainnya yang dapat digunakan untuk berbelanja daring hingga berinvestasi bahkan hanya dengan melalui media sosial. Libra digadang-gadang akan terintegrasi langsung dengan media sosial Facebook dan Whatsapp melalui dompet digital yang bernama Calibra.
Kehadiran Libra juga akan meramaikan peta peredaran mata uang digital dunia menyusul jenis lainnya yang telah lebih dulu beredar. Seperti Bitcoin, Ethereum, dan ratusan jenis lainnya. Mata uang kripto juga memiliki pangsa pasar yang luas. Berdasarkan data per 20 Juni 2019, Bitcoin menjadi jenis mata uang digital yang paling laku di dunia dengan memiliki kapitalisasi terbesar US$ 165,19 miliar. Ethereum berada di peringkat kedua dengan kapitalisasi pasar US$ 28,7 miliar. Selain itu, ada 8 jenis mata uang kripto lainnya yang juga telah mencapai kapitalisasi pasar di atas US$ 2 miliar.
Penulis : Abdul Azis Said (Magang)