Uang palsu atau upal bukan bentuk kriminalitas baru di tengah masyarakat. Pedagang skala mikro agaknya rentan terperdaya upal dibandingkan gerai atau toko modern seperti minimarket. Hal ini disebabkan keterbatasan peralatan, misalnya lampu ultra violet khusus.
Para pedagang mikro seperti pelapak di pasar hanya mengandalkan indra peraba manual. Guna membedakan upal dengan uang asli dilakukan dengan 3D, yakni dilihat, diraba, dan diterawang. Tapi, praktiknya juga tak optimal manakala lapak sedang ramai.
Potensi peredaran uang palsu meningkat pada jam sibuk. Di pasar, kesibukan memuncak sepanjang pagi hari terutama pada akhir pekan. Kondisi ini menuntut pedagang secara cepat melayani pembeli. Sementara peralatan untuk memeriksa satu per satu uang yang diterima minim.
(Baca juga: Transaksi Nontunai Dongkrak Pendapatan Pedagang Pasar Modern)
Beberapa pedagang pasar modern di kawasan Tangerang, Banten mengaku sejumlah kali menerima upal dari konsumen. Tak jarang, pembeli sendiri memang tidak mengetahui bahwa rupiah yang ada di tangannya bukan asli.
"Sekarang, uang palsu itu beredarnya yang pecahan kecil seperti Rp 10.000 dan Rp 20.000. Saya enggak ada alat untuk periksa satu-satu uangnya tetapi saya tahu (itu palsu),” kata Zulkifli, pedagang sayuran di Pasar Modern Paramount Gading Serpong, Tangerang kepada Tim Publikasi Katadata.
Penjual daging bernama Aep Saepul Bahri mengimbuhkan, uang elektronik tak hanya membantu meningkatkan omzet sehari-hari tetapi juga melindunginya dari uang palsu. “Lebih baik pakai ini (pembayaran nontunai), uangnya langsung masuk ke rekening bank semua," ucap dia.
Berdasarkan data Uang Palsu yang dipublikasikan Bank Indonesia diketahui, sepanjang tahun lalu ditemukan upal sebanyak 237.431 bilyet. Apabila dilihat dari wilayah peredaran maka upal terbanyak berbedar di Provinsi DKI Jakarta mencapai 53 persen setara 125.205 bilyet.
Zulkifli dan Aep lanjut bercerita, perkara uang palsu akhirnya teratasi sejak hadir layanan uang elektronik. Pasalnya, transaksi berlangsung secara nontunai. Saldo electronic money dari ponsel pelanggan langsung berpindah ke rekening bank pedagang melalui aplikasi tertentu.
Siti Asmah selaku pembeli di Pasar Paramount Gading Serpong turut berpendapat, uang elektronik memudahkan pembayaran. Dirinya baru pertama mengenal transaksi secara digital tatkala anaknya menemani berbelanja ke pasar. “Iya, jadi aman juga,” ucap ibu rumah tangga ini.
(Baca Ekonografik: Transaksi Digital Ubah Pola Konsumsi Masyarakat)
Uang elektronik paling dominan di Pasar Paramount adalah GO-PAY. Medium pembayaran digital milik PT Dompet Anak Bangsa ini terintegrasi dengan ekosistem aplikasi GOJEK. Tingginya animo konsumen membuat nyaris seluruh pedagang menyediakan pembayaran digital ini agar tak kehilangan pembeli.
GO-PAY berawal dari GOJEK Credit, yakni semacam pulsa untuk membayar layanan GOJEK. Selanjutnya, nama berubah menjadi GO-PAY yang beroperasi resmi sejak April 2016 berdasarkan izin Bank Indonesia No. 16/98/DKSP tertanggal 17 Juni 2014.
Mengusung konsep speed, simplicity, dan security, GO-PAY hadir menjangkau pedagang skala mikro hingga pusat perbelanjaan modern. Uang elektronik ini juga bisa digunakan untuk pembayaran e-commerce serta transportasi publik.
Seperti halnya pedagang pasar lain, Zulkifli dan Aep juga memajang barcode kode QR GO-PAY di lapaknya. Pembeli dapat bertransaksi dalam hitungan detik dengan scanning kode ini. Alhasil, antrean terpangkas dan pedagang tak repot menyiapkan uang kembali.
Sementara itu, pengelola Pasar Modern Town Market Tangerang mengutarakan manfaat lain uang elektronik, pemilik dagangan bisa membukukan kas lebih transparan. Potensi kecurangan oleh karyawan bisa diminimalisir karena dana hasil transaksi langsung masuk rekening bank pedagang.
“Tak semua lapak dijaga bos melainkan karyawannya. Sejak GO-PAY masuk, pedagang terhindar dari kecurangan karyawan,” kata Fenny Kurniasih selaku Supervisor Pasar Modern Town Market.
Sejak aktif beroperasi tiga tahun lalu, GO-PAY terus berkembang. Perusahaan konsultan teknologi informasi Sharing Vision Indonesia dalam Outlook 2019 tentang e-channel, e-commerce, fintech, dan GoPay vs GrabPay memprediksikan GO-PAY menjadi uang elektronik terbesar di Indonesia.
Setiap bulan, GO-PAY bisa menyentuh 50 juta transaksi dengan nilai transaksi diperkirakan mencapai Rp 100 triliun pada tahun lalu. Kajian tersebut juga menyatakan, pengguna GO-PAY mencapai sedikitnya 30 juta orang. Angka ini diperkirakan akan naik menjadi 100 juta dalam tiga tahun ke depan.
CEO GO-PAY Aldi Haryopratomo menyampaikan, pada dasarnya masyarakat Indonesia butuh pendekatan yang komprehensif untuk mengadopsi pembayaran secara digital. (Baca juga: Cerita Kebiasaan Minum Teh Kaum Pekerja di Jakarta)
"Sebagai produk keuangan asli Indonesia, kami ingin mempermudah akses layanan keuangan bagi jutaan keluarga di Tanah Air terutama yang memiliki akses terbatas terhadap layanan keuangan formal," katanya.
Pembayaran nontunai dalam aktivitas harian merupakan langkah pertama yang ditempuh GO-PAY guna mendongkrak kepercayaan masyarakat terhadap layanan jasa keuangan digital. Caranya, dengan merangkul berbagai pelaku usaha termasuk pedagang skala mikro di pasar.