Pendapatan di Bawah Ekspektasi, Harga Saham Induk Google Turun

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Seorang pria membuka laman Google dari gawainya di Jakarta, Jumat (12/4/2019). Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Badan Usaha Tetap (BUT) untuk mengejar pemasukan pajak dari perusahaan asing yang berbasis di luar negeri namun bertransaksi dan memperoleh penghasilan di Indonesia termasuk perusahaan-perusahaan besar \'Over The Top\' (OTT) atau daring seperti Google, Facebook, Youtube dan lain-lain.
Editor: Pingit Aria
30/4/2019, 10.09 WIB

Harga saham induk milik Google, Alphabet, merosot 7% setelah merilis laporan keuangannya.  Penyebabnya, pendapatan perusahaan tak sesuai ekspektasi analis. Padahal, pada Senin (29/4) kemarin, saham Alphabet sempat mencetak rekor dan ditutup pada US$ 1.296,20, naik 24 % sepanjang tahun ini.

Dikutip dari Bloomberg, pendapatan  Alphabet pada kuartal I-2019 nilainya US$ 29,5 miliar, belum termasuk pembayaran kepada mitra distribusi. Sedangkan, analis Wall Street sebelumnya menaksir pendapatan perusanaan bakal mencapai US$ 30,04 miliar.

Pada kuartal lalu, pendapatan iklan Google hanya naik 15%, atau terendah sejak 2015. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Facebook Inc. yang pekan lalu melaporkan kenaikan penjualan iklan sebesar 26 %.

Chief Financial Officer Alphabet, Ruth Porat mengatakan, melambatnya pertumbuhan iklan terjadi menyusul fluktuasi mata uang dan perubahan produk. Hanya, dia tidak menjelaskan produk mana dan mengapa hal tersebut mengganggu pertumbuhan kinerja perusahaannya.

(Baca: Google Ikut Bantu Pemblokiran 947 Fintech Pinjaman Ilegal)

Menurut data yang dikumpulkan oleh agen pemasaran digital Merkle, pertumbuhan pendapatan iklan Google terdapat di divisi ponsel, namun nyaris tidak ada di divisi desktop dan tablet. Associate director of research Andy Taylor mengatakan hal tersebut berkontribusi pada keseluruhan perlambatan kinerja Google.

 "Tidak jelas bagaimana Google mungkin dapat meningkatkan pertumbuhan pada jenis perangkat ini," ujar Andi dikutip dari Bloomberg, Selasa (30/4). 

Kekhawatiran lainnya muncul dari kompetisi mesin pencari. Mesin pencari Google biasanya merupakan tempat pertama yang dikunjungi konsumen ketika mencari produk. Hal ini mendorong Google membebankan harga premium kepada pemilik yang ingin situs mereka terlihat oleh pengguna internet.

Sekarang, di Amerika Serikat, orang semakin sering pergi langsung ke Amazon.com Inc. untuk mencari produk. Raksasa e-commerce ini telah mengambil bagian lebih besar dari pasar iklan digital yang sebelumnya menjadi milik Google. Bukan tak mungkin tren ini akan diikuti di negara-negara lain.

(Baca: Amazon Bukukan Laba Bersih US$ 3,6 Miliar pada Kuartal I-2019)

Dampaknya, jumlah klik pada iklan Google hanya naik 39 % secara year-on-year, terendah sejak 2016. Sementara itu, biaya per klik yang dibebankan kepada pengiklan turun 19 %.

Reporter: Cindy Mutia Annur