Survei tahunan perusahaan jasa konsultan internasional Pricewaterhouse Coopers (PwC) menunjukkan, hampir 30% pimpinan bisnis menilai pertumbuhan ekonomi global akan menurun pada 2019. Namun, minat untuk mengadopsi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) meningkat.
Survei PwC ke-22 ini melibatkan lebih dari 1.378 CEO di 91 negara. Survei ini dilakukan pada September hingga Oktober 2018. Hasilnya, jumlah CEO yang pesimistis dengan perekonomian dunia meningkat dari 5% di awal 2018 menjadi hampir 30% di awal 2019.
Hanya, hal itu tidak menurunkan minat mereka untuk mengadopsi teknologi terbaru. Hampir sepertiga CEO berencana untuk mengupayakan kecerdasan buatan di perusahaan mereka dalam tiga tahun ke depan.
"Sepertiga sisanya telah memperkenalkan AI di organisasinya, namun untuk penggunaan terbatas,” kata Territory Senior Partner di PwC Indonesia Irhoan Tanudiredja dalam siaran pers, Selasa (22/1).
(Baca: Pemerintah Promosikan Digital dan Pariwisata di World Economic Forum)
Mayoritas CEO di kawasan Asia-Pasifik yakin bahwa AI akan mempunyai dampak yang lebih besar daripada revolusi internet. Untuk itu, 85% CEO setuju bahwa AI akan mengubah usahanya secara drastis dalam lima tahun ke depan.
Sejalan dengan hal itu, mereka pun mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM). “Kesenjangan keterampilan merupakan salah satu faktor yang menghambat perkembangan
implementasi AI," kata Irhoan. "Kami juga perlu melakukan edukasi di masa mendatang."
Selain AI, para CEO ingin mengembangkan data dan analisis. Mereka berinvestasi miliaran dolar Amerika Serikat (AS) untuk infrastruktur teknologi informasi sejak 2009. Namun, mereka merasa belum menerima data komprehensif untuk mengambil keputusan penting terkait kesuksesan jangka panjang dan kelanggengan usahanya.
Mereka menyadari bahwa kapabilitas analisisnya belum menyamai pesatnya perkembangan volume data yang berlipat kali ganda selama satu dekade terakhir. Sebanyak 54% mengatakan, penyebab utamanya adalah kekurangan tenaga analisis.
Lalu, 51% responden menilai data yang terstruktur bersifat silo atau berbeda-beda. Sementara 50% responden lainnya menilai keandalan data yang tersedia buruk.
Untuk itu, 46% responden bakal mengadakan pelatihan ulang (retraining) dan peningkatan keterampilan (upskilling) secara signifikan. Sementara 17% responden akan membentuk pipeline yang kuat, langsung dari tahap pendidikan.
"Perubahan teknologi terus menimbulkan disrupsi pada dunia bisnis, orang-orang dengan keterampilan data dan digital yang kuat semakin banyak dicari dan semakin sulit ditemukan,” Global Chairman PwC Bob Moritz.
(Baca: Tahun Politik, Investor Digital Asing Diprediksi Bakal Wait and See)
Secara umum, survei PwC menunjukkan penurunan optimisme CEO paling drastis terjadi di Amerika Utara, yakni dari 63% pada 2018 menjadi 37% di 2019. Hal ini ditengarai oleh memudarnya stimulus
fiskal dan meningkatnya ketegangan perdagangan. Begitu pun dengan AS, optimisme CEO nya turun dari 46% menjadi 27% di 2019.
Lalu, optimisme CEO di Timur Tengah juga turun dari 52% menjadi 28%. Sebab, mereka khawatir terkait ketidakpastian ekonomi regional. Bahkan, optimisme CEO di Tiongkok turun dari 33% menjadi 24% di awal 2019. "Pandangan para CEO tentang perekonomian global mencerminkan prospek ekonomi di negara-negara besar, yang sedang mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi mereka di 2019," ujar Bob.
Untuk jangka pendek, hanya 35% CEO yang optimistis terhadap prospek pertumbuhan perusahaannya di 2019. Jumlah itu menurun dibanding 2018 yang mencapai 42% responden. Di Tiongkok misalnya, optimisme CEO untuk jangka pendek turun dari 40% menjadi 35%.
Untuk menggenjot pemasukan tahun ini,77% CEO berencana mengandalkan efisiensi operasional dan 71% fokus pada pertumbuhan organik. Adapun survei ini diluncurkan dalam acara World Economic Forum Annual Meeting di Davos, Swiss, pada 22-25 Januari 2019.
(Baca: Permintaan Tinggi, Alibaba Cloud Bangun Pusat Data Kedua di Indonesia)