Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara menghormati putusan hukum Mahkamah Agung atas Baiq Nuril Makmun. Mahkamah menjerat mantan guru honorer SMAN 7 Mataram itu dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Namun, Rudiantara meminta penegak hukum mengusut pelaku penyebaran konten asusila yang sebenarnya.
Ia menyatakan bersimpati terhadap Nuril atas kasus hukum yang menjeratnya. “Proses hukum ada jalurnya. Proses kemanusiaan, kami bisa jalankan,” kata dia di Senayan City, Jakarta, Jumat (16/11). Caranya, bisa dengan membantu keuangan keluarganya, mengingat Nuril memiliki tiga orang anak.
(Baca: MA Vonis Guru Nuril 6 Bulan, Jokowi Ramai-ramai Didesak Beri Amnesti).
Ia juga menegaskan bahwa kasus ini tak lantas membuat pemerintah merevisi kembali UU ITE. Apalagi UU ini sudah direvisi pada 2016. Lewat revisi itu, UU ITE bersifat delik aduan atau diproses jika ada aduan dari masyarakat. “Sebelumnya kan bisa langsung ditangkap. Sekarang tidak,” kata dia.
Di samping itu, ia meminta penegak hukum mencari pelaku penyebar konten asusila yang sebenarnya. Informasi yang ia terima, Nuril tidak menyebarkan rekaman berisi konten asusila tersebut. Hanya, konten negatif itu benar tersebar melalui ponsel Nuril.
Adapun Kuasa hukum Nuril, Aziz Fauzi, mengatakan mantan guru honorer SMAN 7 Mataram itu dalam pengadilan tingkat pertama terbukti tidak mengirimkan trasmisi informasi elektronik berupa rekaman telepon. Namun, melalui putusan bernomor 574K/Pid.Sus/2018, Mahkamah malah menghukum Nuril.
Karena itu, Aziz dan sejumlah kalangan mendesak Presiden segera mengeluarkan amnesti lantaran Mahkamah dinilai tidak memahami duduk perkara secara utuh. Sebab, Nuril menyerahkan rekaman itu secara konvensional melalui pemberian ponsel kepada rekan kerjanya, dan selanjutnya dia tidak turut menyebarluaskan.
Direktur LBH Apik Siti Mazuma menilai Mahkamah dalam memeriksa perkara ini juga tidak memperhatikan ketentuan dalam Peraturan MA Nomor 03 Tahun 2017. Dalam Perma tersebut dinyatakan bahwa dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum harus meninjau adanya relasi kuasa gender.
Alasannya, Mahkamah tidak mempertimbangkan kondisi Nuril yang sebenarnya menjadi korban pelecehan seksual yang seharusnya diberikan perlindungan hukum. “Saya tidak melihat di kasasi Mahkamah melihat adanya ketimpangan relasi dalam perkara ini,” kata Siti.
Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan, saat ini banyak perempuan yang enggan melaporkan kasus kekerasan seksualnya karena takut dikriminalisasikan. Hal ini diperparah dengan putusan Mahkamah terhadap Nuril. “Ini bisa mengancam perempuan yang berniat mengungkapkan kekerasan seksualnya,” ucap Azriana.
(REVISI: Artikel ini direvisi dan diperbarui pada hari Minggu, 18 November 2018, pukul 17.00 WIB, karena menyesuaikan dengan pernyataan detail dari Menteri Rudiantara. Perubahan dilakukan pada judul yang sebelumnya: Menteri Rudiantara Hormati Putusan Mahkamah Agung Hukum Guru Nuril, dan pada paragraf pertama.)