Asosisasi Fintech Indonesia (Aftech) sedang menyiapkan kode etik fintech berbasis layanan pinjam-meminjam uang atau peer to peer lending (P2P lending). Asosiasi telah menyerahkan draft kode etik tersebut dan menunggu masukan dari pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Wakil Ketua Asosiasi Fintech Adrian Gunadi mengatakan poin-poin kode etik itu mengatur mengenai transparansi, akuntabilitas dan fairness (keadilan) dalam bisnis fintech.
“Asosiasi mengusulkan rancangan kode etik, karena memang di industri ini kami harus aktif,” kata Adrian kepada Katadata.co.id di sela-sela The 1st Next Indonesia Unicorn (NextICorn) International Summit, Kamis (10/5) di Nusa Dua, Bali.
Kode etik tersebut akan menjadi arahan bagi fintech P2P lending dalam menjalankan bisnis dengan tujuan untuk melindungi masyarakat. Setelah selesai pembahasan dengan OJK, kode etik tersebut akan segera diluncurkan.
(Baca juga: Ketua OJK: Inti Aturan Baru Fintech untuk Lindungi Konsumen)
Di tempat yang sama Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan dalam pertemuan dengan Asosiasi Fintech, dirinya menyampaikan pentingnya transparansi, akuntabilitas dan azas keadilan diatur dalam bisnis fintech. “Mereka memahaminya, tiga poin itu hal yang harus diatur,” kata Wimboh.
Wimboh mengatakan prinsip-prinsip tersebut harus diterapkan pelaku bisnis untuk mengoptimalkan dan melindungi kepentingan nasabah. Keterbukaan informasi kepada publik, kata Wimboh, akan membuat nasabah memahami risiko yang dihadapi.
“Publik harus memahami berbagai risiko seperti potensi terjadinya kejahatan siber dan pencurian data. Dengan memahami risiko, mereka yang akan memutuskan untuk menggunakan layanan atau tidak,” kata Wimboh.
Adapun dalam prinsip akuntabilitas atau pertanggungjawaban, pemilik fintech perlu menjelaskan siapa yang menjadi pemegang saham pengendali atau yang bertanggungjawab dalam perusahaan.
“Seperti halnya bank, fintech juga harus membuka siapa pemegang saham pengendali,” kata Wimboh. (Baca juga: Dianggap Rentenir oleh OJK, Fintech Jelaskan Perhitungan Bunga)
Terakhir, dalam prinsip keadilan artinya manajemen dan pemilik fintech tidak memanfaatkan nasabah. “Harus jujur dengan produk yang ditawarkan, karena berbeda dengan lembaga keuangan yang terus dimonitor risikonya oleh OJK,” kata dia.
Wimboh mengatakan, penerapan prinsip-prinsip ini akan masuk dalam peraturan OJK yang akan diterbitkan akhir tahun. Dalam aturan tersebut, OJK juga akan mewajibkan fintech mendaftar dan tercatat di OJK.
Pendaftaran itu harus memuat data mengetahui nama produk, pengelolanya, pengurus perusahaan fintech, dan lokasinya. “Pengurusnya siapa, siapa yang bertanggung jawab, berapa fee-nya, siapa nasabahnya, apa manfaatnya,” kata Wimboh di lain kesempatan.
Laporan tahunan Aftech mencatat, per Desember 2017 tercatat sebanyak 235 perusahaan fintech di Indonesia. Dari empat model fintech: sistem pembayaran (payment), manajemen investasi, P2P lending, hingga crowdfunding atau patungan, sistem pembayaran masih mendominasi dengan porsi 39%.
Namun, jumlah pelaku usaha P2P tumbuh paling pesat dari 15% pada awal 2017 menjadi 32% di akhir tahun lalu. Sedangkan OJK mencatat, hingga awal tahun ini, penyaluran dana melalui P2P lending mencapai Rp 3 triliun.
(Baca juga: Inilah 13 Fintech yang Akan Berkembang Pesat di Indonesia)