Pertumbuhan Perbankan Syariah Tergilas Fintech

Antara
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam bincang bersama media di Plaza Mandiri, Jumat (9/6). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
4/5/2018, 13.28 WIB

Pembiayaan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebesar Rp 282,1 triliun per Februari 2018. Catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai tersebut turun 1,3% dibanding akhir tahun lalu (year to date/ytd) yang sebesar Rp 285,7 triliun.

Sementara financial technology (Fintech), sudah menyalurkan  pinjaman sebesar Rp 4,47 triliun per Maret 2018. Secara jumlah, pembiayaan industri keuangan syariah memang jauh lebih tinggi dibanding fintech. Namun, pertumbuhan pinjaman jauh lebih cepat fintech, yakni 74,6% ytd.

Untuk itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mendorong industri keuangan syariah untuk mengembangkan bisnisnya, terutama dengan mengadopsi teknologi terkini. "Pelaku industri harus memahami risiko yang muncul dari bisnis fintech dan memitigasinya dengan baik” ujar dia dalam siaran pers, Kamis (3/5).

Hal itu ia sampaikan pada saat Konferensi Tingkat Tinggi Keuangan Syariah, yang digelar Central Bank of Kuwait dan Islamic Financial Services Board (IFSB) di Kuwait City, Rabu waktu setempat.

(Baca juga: Belajar dari Inggris Soal Sulitnya Mengatur Inovasi)

Menurut dia, ada beberapa faktor yang mengubah lanskap keuangan dunia saat ini. Salah satunya adalah kehadiran fintech. Ia memandang fintech merupakan peluang strategis bagi keuangan syariah untuk memperluas segmen pasar. Oleh karenanya, ia mendorong industri keuangan syariah berkolaborasi dengan fintech

Namun, penggunaan teknologi finansial dalam pengembangan industri keuangan syariah juga harus diikuti dengan upaya meningkatkan perlindungan terhadap konsumen. Ia memastikan instansinya terus mengawal perkembangan teknologi dalam layanan keuangan dengan menekankan azas manfaat dan mematuhi tata kelola yang baikvberdasarkan Transparansi, Akuntabilitas, Tanggungjawab, Kemandirian, dan Kewajaran (TARIF).

OJK pun sudah merilis peraturan terkait salah satu jenis fintech yakni peer to peer lending  pada akhir 2016 lalu. Saat ini, OJK tengah menggodok regulasi inovasi keuangan digital yang diharapkan bisa meningkatkan perlindungan konsumen dan menjaga stabilitas sistem keuangan, serta memastikan anti-pencucian uang dan memerangi pembiayaan terorisme.

Peraturan itu juga untuk mempromosikan crowdfunding online kepada publik, agar meningkatkan inklusi keuangan dan pendalaman keuangan. Diharapkan kebijakan ini juga mendorong perusahaan fintech di bidang lending untuk mengambil bagian dalam Obligasi Retail Pemerintah online serta distribusi dana bergulir, melalui kerja sama dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait.

(Baca juga: Bisnis Serba Digital: Untuk (Si) Apa?)

Adapun, jumlah fintech peer to peer lending yang terdaftar  di OJK mencapai 50 per Maret 2018. Lalu, 35 perusahaan sedang dalam proses pendaftaran dan 29 lainnya sudah menyatakan minat untuk mendaftar di OJK.

Sampai Maret 2018, jumlah penyedia dana fintech peer to peer lending sebanyak 145.965 entitas atau naik 44,6% ytd. Jumlah peminjam mencapai 1.032.776 orang atau meningkat 297,8% ytd. Rasio nilai pinjaman macet (Non Performing Loan/NPL) sebesar 0,55% atau menurun 0,99% dibanding Desember 2017.

Sedangkan aset industri keuangan syariah mencapai Rp 439,32 triliun per Maret 2018 atau tumbuh 19,3% dibanding periode sama tahun lalu (year on year/yoy).  Lalu, dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 347,15 triliun atau tumbuh 18,8% yoy. 

Reporter: Desy Setyowati