Pakar Usul Indonesia Mencontoh India dalam Kembangkan Fintech

Arief Kamaludin | Katadata
Ilustrasi kegiatan fintech.
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yuliawati
31/10/2017, 12.44 WIB

Riset The Australian Center for Financial Studies, Monash Business School, menyatakan bahwa pemerintah RI harus terus mendorong perkembangan perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi finansial (financial technology/fintech) di Indonesia. Executive Director The Australian Center for Financial Studies, Monash Business School Prof. Edward Buckingham mengusulkan agar Indonesia mengikuti jejak India dalam mengembangkan fintech.

"Saya rasa yang lebih menarik buat Indonesia adalah contohnya India karena sektor informal di India sangat besar," ujar Edward saat ditemui di Menara Merdeka, Jakarta, Selasa (31/10). Sedangkan, negara lain dengan fintech yang berkembang seperti Singapura, memiliki perkembangan ekonomi yang lebih maju dari Indonesia.

(Baca: Transaksi Fintech Diprediksi Naik 24% Jadi Rp 249 Triliun Tahun Ini)

Edward menuturkan, pemerintah harus mencontoh komitmen pemerintah India dalam mengembangkan fintech. Perdana Menteri India Narendra Modi pernah berkomitmen akan menggunakan fintech dalam mereformasi di India supaya pemerintahnya dapat mengembangkan potensi rakyat yang belum berpartisipasi 100% dalam ekonomi formal di India.

Riset awal he Australian Center for Financial Studies terkait perkembangan Fintech di Indonesia ini menemukan bahwa fintech yang paling banyak digunakan saat ini adalah terkait peer to peer lending. Edward mengatakan, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus membuat aturan yang tidak terlalu ketat tetapi tetap mengutamakan perlindungan dana masyarakat.

(Baca: OJK Ungkap Alasan Tak Atur Ketat Bunga Fintech Pinjam Meminjam)

Edward pun mengatakan, sebaiknya fintech ini dibiarkan terus berkembang secara kuantitas maupun kualitas. Tidak hanya membuat empat hingga lima perusahaan saja yang mendominasi.

Menurut dia, adanya beberapa fintech yang berguguran dapat dijadikan pembelajaran untuk menerapkan aturan-aturan yang lebih tepat. Selain, mengurangi risiko terjadinya gangguan ekonomi apabila dana yang dikelola terlalu besar.

Sementara itu, Lead Finance Sector Adviser Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG) Gavin Forte menuturkan, keberadaan fintech ini memang bisa menjadi solusi untuk meningkatkan keuangan yang lebih inklusif ke seluruh lapisan masyarakat, utamanya di daerah-daerah yang tidak terjangkau perbankan.

(Baca: Tidak Semua Fintech Akan Bertahan)

Dengan demikian, masyarakat di sektor informal akan memiliki akses menjangkau produk keuangan yang belum mendapatkan kesempatan mendapatkan kredit dari bank besar. "Tetapi, perlindungan konsumen menjadi hal yang terpenting dalam perkembangan itu," ujarnya.

Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nurhaida mengatakan, pihaknya menyadari perkembangan fintech ini bisa menjadi solusi keuangan inklusif. Namun, pengaturan akan hal ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk itu, pemerintah bersama BI dan OJK tengah membuat suatu pusat kajian bersama untuk menggali kebutuhan dan aturan yang tepat terkait perkembangan fintech di Indonesia.

"Akan lebih baik kami lakukan pengembangan di satu kesatuan di tingkat nasional, agar tidak terjadi duplikasi dan sumber daya yang ada bisa dimanfaatkan secara maksimal," ujar Nurhaida. (Baca: OJK Wajibkan Fintech Pinjam-Meminjam Miliki Sistem Data Nasabah)