Tak Hanya Perbankan, Pekerjaan Lain Berpotensi Hilang di Masa Depan

Donang Wahyu | KATADATA
Chatib Basri menyarankan pemerintah meningkatkan kesadaran dan kepekaan atas hilangnya beragam pekerjaan akibat inovasi teknologi.
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yuliawati
26/9/2017, 13.20 WIB

Perkembangan inovasi teknologi, terutama yang terkait dengan perubahan kegiatan ekonomi (disruptive innovation) dinilai akan berdampak pengurangan Sumber Daya Manusia (SDM) di berbagai perusahaan hampir di seluruh sektor di masa mendatang. Advisory Board Chairman of Mandiri Institute Chatib Basri menyarankan pemerintah meningkatkan kesadaran dan kepekaan atas situasi tersebut.

Chatib mengatakan, teknologi yang semakin berkembang membuat pekerjaan manusia digantikan oleh teknologi. Akibatnya, lapangan pekerjaan akan semakin sempit, daya saing antar individu semakin ketat, dan potensi downsizing perusahaan pun meningkat yang menyebabkan bertambahnya pengangguran.

(Baca: Transformasi ke Bank Digital, BTPN Tawari Karyawan Pensiun Sukarela)

"Saya tidak tahu perusahaan yang sudah downsizing (pengurangan jumlah karyawan), tapi pasti akan dilakukan," kata Chatib dalam pemaparannya di acara Mandiri Human Resource (HR) Symposium 2017, Selasa (26/9).

Chatib memaparkan beberapa sektor yang terkena dampak disruptive innovation. Pertama, peran kantor pos yang hilang karena digantikan surat elektronik (e-mail). Kedua, peran Harddrive atau Haddisk yang bakal menghilang seiring dengan perkembangan teknologi cloud untuk menyimpan data yang mengakibatkan pekerja pembuat perangkat keras ini kehilangan pekerjaannya.

Ketiga, perbankan yang akan terganggu bisnis modelnya karena tersaingi oleh start-up, khususnya dalam melakukan pinjam-meminjam dana. Keempat, pekerjaan sekretaris dan akuntan yang bisa digantikan oleh teknologi dan bekerja lebih cepat serta efisien.

Kelima, rencana perusahaan digital raksasa Google yang ingin membuat semacam balon yang terbang di langit Indonesia untuk memancarkan sinyal guna menjangkau daerah-daerah agar bisa menggunakan internet.

(Baca juga: Beralih ke Digital, Bank Bakal Rekrut Lebih Banyak Ahli Teknologi)

Perusahaan berbasis telekomunikasi pun akan terganggu bisnisnya. "Akibatnya, perusahaan akan mengubah tipikal orang yang akan diperkerjakannya. Banyak yang akan menjadi jobless karena pekerjaan semakin efisien dengan penggunaan teknologi. Pendapatan buruh semakin kecil dan pekerja yang survive hanya yang memiliki ide. Ketimpangan pun akan semakin tinggi," ujar Chatib.

Berdasarkan data World Economic Forum 2016, akan ada 5,1 juta pekerjaan yang akan hilang di dunia. Bebagai pekerjaan yang akan terdampak cukup besar yakni di bidang administrasi, produksi dan manufaktur, konstruksi dan industri ekstraktif. Selain itu, bidang seni, olahraga, media dan hiburan, bidang hukum, dan bidang perawatan dan instalasi.

(Baca juga: Lewat 'Jenius', Nasabah BTPN Bisa Buka Deposito Lewat Ponsel)

Sementara, pekerjaan yang akan berkembang di bidang bisnis dan keuangan, management, komputer dan matematika, arsitektur dan engineering, sales, pelatihan dan edukasi. Chatib mengatakan, pekerja ke depannya pun diharapkan dapat beradaptasi dengan kondisi ini, karena perusahaan tidak akan bertahan hanya dengan pekerja yang tidak memiliki skill.

"Saya tadinya mikirnya masih jauh tapi ternyata jauh lebih cepet dari pada yang saya bayangkan," ujarnya.

Kondisi ini dialami oleh seluruh negara. Chatib menyatakan pemerintah dapat berperan dengan membuat regulasi yang fleksibel dalam mengatasi tantangan dari disruptive innovation.

Chatib melanjutkan, fleksibilitas tersebut bisa ditelurkan dengan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah. Pertama, sejauh mana regulator bisa mengejar perkembangan inovasi ini. Kedua, mungkinkan pemerintah memiliki kebijakan publik dan fiskal yang agile, yakni kebijakan yang bisa cepat berubah mengikuti perkembangan.

Ketiga, bagaimana cara pemerintah memitigasi ketimpangan, seperti pajak untuk penggunaan robot dan penarikan kepada kelompok orang super kaya. "Tapi secara historis ini tidak pernah ada. Pemerintah tidak pernah membuat kebijakan yang fleksibel," uajrnya.

Dirinya mencontohkan, selain akan menggerus pekerjaan konvensional yang ada saat ini, pola perilaku generasi millenial pun berbeda dengan generasi sebelumnya.  Generasi ini enggan mengikuti aturan yang kaku, khususnya terkait jam kerja dan keperluan datang ke kantor setiap harinya. Dengan demikian, UU ketenagakerjaan pun menjadi tidak relevan lagi ke depannya yang mengatur secara rinci akan jam kerja dan hal lainnya.

Chatib mengatakan, meskipun pemerintah belum mengeluarkan aturan yang fleksible, paling tidak dengan banyaknya diskusi terkait tantangan hal ini dapat meningkatkan kesadaran pemerintah untuk bisa mencari solusi atas permasalahan yang timbul ke depannya.

"Tahap paling awal yang bisa dilakukan memang menciptakan awareness. Karena ini (disruptive innovation) berlangsung terlalu cepat. Kita belum sepat berpikir dengan baik, tapi ini sudah terjadi dan terus berkembang," ujarnya.