Asosiasi Ojek Online Khawatirkan Nasib Mitra jika Gojek-Grab Merger

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Seorang pengguna ojek online menunjukkan aplikasi GoRide yang tidak tersedia di Kawasan Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Jumat (10/4/2020).
8/12/2020, 18.52 WIB

Perusahaan penyedia layanan on-demand, Gojek dan Grab dikabarkan semakin dekat untuk merger. Asosiasi pengemudi taksi dan ojek online khawatir ada efisiensi kemitaraan dalam jumlah besar, jika itu terjadi.

Sekretaris Dewan Asosiasi Driver Online (ADO) Taha Syafariel mengatakan, banyak anggotanya yang khawatir jika Gojek dan Grab merger. Apalagi, kedua decacorn ini menerapkan sistem kemitaraan yang berbeda.

“Akan pakai sistem algoritme siapa?” kata Taha kepada Katadata.co.id, Selasa (8/12). Selain itu, “tentu efisiensi akan jadi masalah.”

Salah satu mitra GoCar Sugeng mengatakan, sistem kemitraan Gojek dan Grab beda. "Sekarang mitra sudah berlebihan, saya khawatir ada pemutusan kerja sama secara sepihak,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumlah lalu (4/12).

Mitra GoCar lainnya, Freddy menyoroti sistem imbalan. Ia mengatakan, mitra bisa memperoleh poin jika penumpang mengisi saldo (top up) GoPay minimal Rp 20 ribu pada tahun lalu. Kini, minimal Rp 100 ribu baru bisa mendapatkan poin. Ia berharap, sistem imbalan tidak dipersulit jika keduanya merger.

Kekhawatiran serupa disampaikan oleh Ketua Presidium Asosiasi Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono. “Bukan tidak mungkin akan ada efisiensi kemitraan, dengan kata lain, banyak terjadi gelombang putus mitra," katanya.

Ia berharap, Gojek dan Grab memberikan penjelasan terkait isu merger tersebut. Jika tidak ada klarifikasi, Garda mengancam akan menggelar aksi di seluruh wilayah secara serentak untuk menolak rencana merger.

Sebelumnya, Gojek tidak mau berkomentar mengenai kabar pembahasan merger tersebut. “Kami tidak dapat menanggapi rumor yang beredar di pasar,” kata Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita kepada Katadata.co.id, Kamis pekan lalu (3/12).

Begitu pun dengan Grab. “Kami tidak berkomentar mengenai spekulasi yang beredar di pasar,” ujar juru bicara Grab.

Namun, sumber yang mengetahui rencana tersebut mengatakan bahwa kedua decacorn sudah mempersempit perbedaan pendapat. "Detail akhir sedang dikerjakan di antara para pemimpin paling senior di setiap perusahaan," kata sumber dikutip dari Bloomberg, pekan lalu (2/11).  

Salah satu poin yang disepakati yakni membentuk perusahaan gabungan, yang akan berfokus melantai di bursa saham dan menjadi raksasa teknologi di Asia Tenggara. CEO Grab Anthony Tan disebut-sebut akan memimpin entitas bisnis ini. Sedangkan eksekutif Gojek akan menjalankan bisnis gabungan baru di Indonesia dengan merek yang sama.

Poin lain yang disepakati yakni merek Gojek dan Grab dikabarkan dapat dijalankan secara terpisah untuk jangka waktu yang lama. Ini karena pembahasan seputar apakah keduanya akan menggabungkan semua operasi atau Grab hanya mengakuisisi bisnis Gojek di Indonesia memakan waktu beberapa bulan.

Namun, merger tersebut mengadapi tantangan terkait antimonopoli. Saat mengakuisisi operasional Uber di Asia Tenggara pada 2018 lalu, Grab didenda oleh otoritas di Singapura dan Filipina karena terbukti monopoli.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra pun mengatakan, merger keduanya akan membuat pasar semakin terkonsentrasi. “Salah satu dasar pertimbangan kami dalam menilai notifikasi yakni pengaruhnya terhadap konsentrasi pasar,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat lalu (4/12).

KPPU dapat memberikan persetujuan atau penolakan terhadap aksi korporasi merger akuisisi yang memenuhi batasan. Pertimbangan ini akan mengacu pada pasal 28 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Meski begitu, Guntur belum menerima laporan terkait rencana Gojek dan Grab merger. “KPPU belum menerima notifikasi itu,” kata dia.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan