Startup di Amerika Serikat (AS) hingga Indonesia marak melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Sebelumnya, ada beberapa perusahaan rintisan yang berhasil meraup dana berlimpah, tetapi akhirnya gagal.

Partner di Lux Capital Deena Shakir mengatakan, investor mewanti-wanti startup sejak November 2021 tentang kondisi pendanaan yang berubah. "Dana persilangan yang memicu begitu banyak ledakan pasar swasta, mundur saat mereka bergulat dengan kerugian bersejarah dalam portofolio publik," katanya dikutip dari CNBC Internasional, akhir pekan lalu (28/5).

Menurutnya, startup yang bergulat dengan tingkat ‘bakar uang’ yang tinggi akan menghadapi kesulitan dalam pendanaan. "Investor bakal lebih sensitif terhadap pendanaan dan memilih untuk mempertimbangkan runway yang tampaknya tidak menyenangkan bagi startup," ujarnya.

Runway merupakan istilah yang menggambarkan panjangnya umur startup.

Hal senada disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro. Ia menilai, tren startup PHK karena beberapa faktor. Salah satunya, investor yang semakin selektif memberikan pendanaan kepada perusahaan rintisan.

“Jadi, startup harus menghemat dana dan berusaha mempunyai runway yang lebih panjang. Salah satu caranya yakni langkah-langkah efisiensi,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, pekan lalu (25/5).

Sebab, ada perusahaan rintisan gagal meskipun meraih pendanaan lebih dari US$ 100 juta. CB Insight menganalisis alasan startup bangkrut, meski mendapatkan pendanaan berlimpah.

"Ada kurangnya kecocokan pasar produk hingga ketidakharmonisan dalam tim," kata CB Insight dalam laporan pada April (19/4). Alasan lainnya yakni penipuan, gugatan hingga pandemi Covid-19.

CB Insight mencatat, ada 65 startup yang tergolong gagal meskipun mendapatkan pendanaan di atas US$ 100 juta. Tujuh di antaranya yakni:

1. Nice Tuan

Startup e-commerce komunitas ini didukung oleh investor seperti Alibaba Group, GGV Capital hingga DST Global. Total pendanaan yang diungkapkan bahkan mencapai US$ 1,2 miliar

Namun, ketika startup itu berkembang ke kota-kota kecil, biaya naik secara tidak proporsional. Barang dijual dengan harga di bawah biaya untuk menarik pelanggan.

Pembeli palsu muncul di setiap akhir bulan untuk memenuhi target penjualan. 

Nice Tuan juga sempat didenda 1,5 juta yuan oleh regulator Cina karena penipuan. Pada Mei, Nice Tuan juga didenda karena iklan yang menyesatkan.

2. KupiVIP

Startup ritel online untuk produk busana ini didukung oleh investor seperti MCI Capital, Accel, Balderton Capital, dan Intel Capital. Total pendanaan yang diungkapkan mencapai US$ 119,5 juta.

KupiVIP mengakhiri operasinya pada September 2021 karena tidak mampu bersaing dengan generasi baru raksasa ritel online Rusia.

3. Katera

Startup di bidang konstruksi yang didanai oleh SoftBank ini mendapatkan dana US$ 1,5 miliar. Tahun lalu, Katera berhenti beroperasi.

Katera menyalahkan kenaikan biaya tenaga kerja dan material terkait pandemi Covid-19. 

4. Quibi

Startup layanan streaming ini mendapatkan dana segar total US$ 1,75 miliar dari Goldman Sachs, NBC Universal, dan JPMorgan Chase.

Namun, Quibi ditutup hanya enam bulan setelah meluncurkan layanan streaming.

5. Jawbone

Startup perangkat keras ini mendapatkan investasi dari investor seperti Khosla Ventures, Sequoia Capital, hingga Kleiner Perkins Caufield & Byers senilai US$ 929,9 juta.

Namun, Jawbone bangkrut dan menjual asetnya pada 2017. Jawbone gagal mempertahankan pangsa pasar yang signifikan untuk lini pasar headset, pelacak kebugaran, dan speaker nirkabel.

6. Solyndra

Startup energi terbarukan asal Cina ini gagal mendapatkan pendanaan dari Redpoint Ventures dan US Venture Partners US$ 1,22 miliar.

7. Theranos

Startup teknologi tes darah ini mendapatkan pendanaan dari BlueCross BlueShield Venture Partners, Rupert Murdoch hingga Walgreens. Total pendanaannya US$ 500 juta.

Setelah menggembar-gemborkan teknologi tes darah untuk mendeteksi berbagai penyakit, startup tersebut justru bangkrut.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan