Sejumlah startup Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja alias PHK. Apakah kondisi ini menjadi sinyal berakhirnya masa keemasan perusahaan rintisan Indonesia?
Konglomerat Hary Tanoesoedibjo menilai, hari-hari keemasan startup mulai berakhir. "The golden days of startup are already over," kata dia melalui akun Instagram @hary.tanoesoedibjo, akhir bulan lalu (29/5).
Ia menyertakan infografik yang menggambarkan fenomena PHK massal oleh startup.
Hary menjelaskan soal indikator bisnis yang sehat bisa dilihat dari kas atau kondisi keuangan yang positif. "At the end of the day, healthy business must generate positive cashflow," kata dia.
Dengan kondisi tersebut, istilah bubble burst pun muncul kembali. Bubble burst pernah mengguncang industri internet pada 1990-an yang dikenal juga dengan istilah dotcom bubble.
Kehancuran dot-com atau gelembung dot-com terjadi pada periode 1998 hingga awal 2000-an. Saat itu, banyak perusahaan yang mencantumkan nama dot-com.
Mereka melantai di bursa efek dan mencatatkan harga saham yang meroket.
Perusahaan dot-com saat itu banyak menjalankan model perusahaan rintisan yang bereksperimen dengan cara-cara baru dalam berbisnis. Namun, mereka tidak punya arah bisnis yang jelas dan tidak stabil.
Kemudian, gelembung dot-com meledak dan harga saham perusahaan internet itu runtuh. Bahkan banyak di antaranya yang gulung tikar.
“Kalau yang dimaksud dari definisi ‘masa emas’ adalah kondisi bubble atau bullish, bukan berarti masa keemasan startup sudah berakhir,” kata Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan kepada Katadata.co.id, Minggu (12/6).
“Kondisi bullish dan bearish atau koreksi pasar sudah biasa terjadi di pasar modal dan juga investasi di private companies. Kalau kita ingat pada akhir 1999 dan awal 2000 terjadi market crash di investasi startup, namun pada periode berikutnya terjadi startup boom pada waktu yang tepat juga,” tambah dia.
Sedangkan menurut pakar informasi teknologi dari ICT Institute Heru Sutadi, maraknya startup PHK saat ini menunjukkan terjadinya bubble. “Sebab, rentan ketika startup sebenarnya tidak miliki aset. Asetnya yakni mitra,” katanya kepada Katadata.co.id, akhir bulan lalu (27/5).
“Startup yang tidak diminati oleh masyarakat, dan masyarakat menjadi bagian dari mitra yang kuat, pasti akan rontok,” tambah dia.
Namun, Managing Partner East Ventures Roderick Purwana menilai bahwa kondisi startup di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS) saat ini berbeda dengan Indonesia. Masa terburuk perusahaan teknologi di markas Google itu terjadi karena sejumlah pemicu, seperti:
- Ekspektasi investor kepada perusahaan teknologi berkurang setelah pandemi Covid-19
- Tingginya inflasi dunia yang membuat bank sentral AS, The Fed menaikkan suku bunga
- Kekhawatiran geopolitik, seperti perang Rusia dan Ukraina
"Ini akan memberi dampak ke dunia, dimana investor lari ke aset yang lebih aman," kata Roderick, medio bulan lalu (17/5).
Khusus di Indonesia, menurutnya relatif lebih terjaga. Sebab, ekonomi Indonesia secara makro cenderung stabil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi kuartal I mencapai 5,01% secara tahunan.
Meski begitu, startup Indonesia tetap terkena imbasnya. "Ada perubahan pola pendanaan dan valuasi," katanya.
Menurutnya, investor akan mencari startup Indonesia yang dianggap berkualitas. Sedangkan, dari sisi valuasi akan ada penyesuaian.
Setidaknya ada 37 startup yang meraih pendanaan tahun ini. Total kesepakatan investasi ke perusahaan rintisan Indonesia mencapai 38, karena ada startup yang memperoleh dana segar dua kali sejak awal 2022 yakni Astro.