Setelah pandemi corona, startup di banyak negara menghadapi tantangan resesi ekonomi. Direktur Eksekutif Grup Lippo John Riady pun mengungkapkan cara perusahaan rintisan bertahan di tengah situasi ini.
Pendiri Venturra Capital itu pun menilai, situasi belakangan ini layak diakui sebagai badai yang menghempas startup di hampir semua lini dan banyak negara, termasuk Indonesia.
Kondisi indikator makro ekonomi yang masih melemah hingga goncangan geopolitik akibat ketegangan di Eropa dan Asia Timur membuat fondasi startup goyah. Sebab, “startup sangat membutuhkan likuiditas tebal sebagai kapital dan stabilitas pasar,” kata dia dalam keterangan pers, Senin (15/8).
Di tengah dinamika tersebut, ia menilai tren startup melantai di bursa saham alias initial public offering (IPO) semakin marak. Sebab, ini menjadi jalan keluar dari krisis pendanaan.
Tren serupa melanda bursa di Indonesia. Terlebih lagi setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) mempermudah perusahaan rintisan IPO.
Sebelumnya, OJK mengeluarkan peraturan OJK (POJK) Nomor 22/POJK.04/2021 terkait Multiple Voting Shares (MVS). Ini membuka jalan bagi startup untuk masuk ke pasar modal.
MVS yang berlaku dalam jangka waktu tertentu itu diharapkan memproteksi visi dan strategi inovasi startup yang digagas para pendiri, meskipun telah dimiliki oleh publik.
“Langkah otoritas, baik bursa maupun OJK saling melengkapi. Satu sisi pasar akan tetap bergairah dengan habitat khusus new economy, startup pun semakin percaya untuk melantai karena tidak kehilangan kendali inovasi,” ujar John.
Persoalannya, walau banyak dilakukan usaha rintisan di luar negeri, IPO hanya salah satu cara startup menopang pendanaan. IPO masih menyisakan masalah mendasar saham perusahaan rintisan yang harus bertarung dengan ekspektasi publik, serta likuiditas pasar.
“Persoalan fundamental lainnya yakni seberapa besar dampak inovasi yang terus diciptakan oleh startup tersebut,” kata John.
Berkaca pada indeks S&P 500 Information Technology Sector outperform, selama 2014 – 2021, saham perusahaan teknologi mengantongi kenaikan 422% atau 22,9% per tahun.
Torehan itu lebih tinggi dibandingkan indeks S&P 500 yang naik 158% atau 12,6% per tahun.