Dicecar DPR Karena Bebani Pajak Penghasilan ke Ojol, Ini Jawaban Grab

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Presiden Direktur Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi V DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/11/2022).
7/11/2022, 20.31 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mempertanyakan Grab soal keluhan para mitra pengemudi ojol terkait pungutan Pajak Penghasilan (PPh 21) sebesar 6%. Pihak aplikator memberikan penjelasan atas protes para pengemudi.

Presiden Direktur Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengatakan PPh 21 sebesar 6% itu merupakan potongan yang berasal dari pendapatan mitra pengemudi dari perusahaan. “Kaitannya dalam bentuk insentif,” katanya saat rapat dengan Komisi Transportasi DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (7/11).

Ridzki mengatakan pemotongan insentif itu komponen yang unik karena pendapatan mitra dari perusahaan dan bukan pelanggan. Besaran Pph 6% karena pengemudi tak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Adapun, mereka yang memiliki NPWP dipotong 5%.

“Semua ada buktinya. Mitra pengemudi juga sudah diberitahukan dan bisa mendownload itu (di aplikasi),” katanya. 

DPR juga mempertanyakan mengapa bukti lapor pajak tidak diberikan kepada mitra pengemudi. Ridzki berkata bukti tersebut bisa diminta, namun harus dikerjakan satu per satu.

“Kami bukan mengada-adakan pemotongan ini, tapi sesuai denganperaturan pemerintah. Itu betul-betul untuk pemerintah.” katanya.

Sebelumnya,  Wakil Ketua Komisi V DPR RI Fraksi Partai Golongan Karya Ridwan Bae mengatakan potongan 6% dari PPh 21 itu adalah dari penghasilan pengemudi. Bukti potongan pajak 6% itu harus diserahkan kepada pengemudi.

Namun, ternyata pajak tersebut harus disetorkan wajib pajak lewat tempat kerjanya. “Ini bagaimana jalan ceritanya sehingga bapak (pihak Grab) menyetor kepada pemerintah,” kata Ridwan.

Sementara, Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama mempertanyakan apakah Grab melaporkan pajak sebagai objek pajak (perusahaan) atau mitra pengemudi (perorangan).

Ini karena pemerintah tidak mungkin mengambil pajak dari usaha kendaraan roda dua yang tak termasuk dalam kendaraan umum. "Yang saya khawatirkan itu sebenarnya pajak objek perusahaan tapi dibebankan kepada mitra.” ujarnya.

Sementara, anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Gerindra Sudewo mengkhawatirkan adanya klaim yang dilakukan Grab soal perpajakan. Ia menduga pajak yang diambil dari pendapatan mitra pengemudi kemudian disetor atas nama penghasilan badan usaha ke pemerintah.

Tak hanya itu, ia mengaku heran mengapa insentif bisa dijadikan ladang memajaki pengemudi. “Bagaimana pajak sebuah kewajiban, tetapi dalam bentuk insentif yang merupakan buah prestasi,” tanyanya.

Sementara itu, Gojek dan Maxim mengaku bahwa perusahan mereka tidak memungut biaya untuk dilaporkan pajak kepada para mitranya.

Reporter: Lenny Septiani