Asosiasi Penyelenggara Jasa Telekomunikasi Indonesia (ATSI) menilai implementasi teknologi 5G bisa diterapkan di Tanah Air mulai 2022. Potensi nilai bisnis 5G bagi operator seluler per tahunnya pun mencapai Rp 27 triliun atau yang terbesar di Asia Tenggara.
Berdasarkan riset AT Kearney tahun 2019, prediksi monetisasi 5G oleh operator di Indonesia mencapai sekitar US$ 1,4 - 1,83 juta pada 2025. Nilai ini lebih tinggi dari Thailand dan Malaysia yang masing-masing hanya berkisar US$ 850 - 1,17 juta dan US$ 660 - 900 ribu.
Ketua ATSI Ririek Adriansyah pun optimistis bahwa implementasi 5G akan meningkatkan pendapatan (revenue) operator dari monetisasi berbagai industri vertikal dan korporasi (business to business/B2B).
"Kami prediksi, tender bisa dilakukan di tahun 2020 hingga 2021, selambat-lambatnya tahun 2022. Begitu tender dilakukan maka kami bisa memulai layanan 5G ini," ujar Ririek saat konferensi pers Embarking 5G: A Pursuit to Digital Destiny di Jakarta, Rabu (27/11).
(Baca: Kominfo Kaji Empat Faktor Pengembangan 5G di Indonesia)
Dia menambahkan, selama ini uji coba 5G yang telah dilakukan di Tanah Air mayoritas untuk penggunaan di sektor industri, bukan konsumen komersial. Berdasarkan jadwal (timeline) asosiasi, uji coba jaringan tersebut masih dilakukan hingga 2020.
Menurut Ririek, Indonesia memiliki karakter konsumen yang berbeda dengan Korea Selatan dan Tiongkok, di mana di tahun ini kedua negara tersebut telah memasarkan layanan data internet 5G untuk komersil dengan menjual paket data bervolume tinggi yakni mencapai ratusan gigabyte. Indonesia saat ini belum mencapai level konsumsi sebesar itu.
Sehingga, akan tepat sasaran jika 5G di Indonesia ditujukan untuk level B2B terlebih dahulu seperti yang dicanangkan oleh pemerintah. "(5G) akan dimulai di cluster tertentu seperti di kawasan industri, selanjutnya (level konsumsinya) baru diperluas," ujarnya.
(Baca: Menteri Kominfo Target Kecepatan Internet Naik 3,5 Kali Lipat di 2035)
Implementasi 5G Penuh Tantangan
Ririek melanjutkan, implementasi 5G masih menghadapi sejumlah tantangan seperti soal frekuensi dan kesiapan infrastruktur. Terkait frekuensi, ATSI merekomendasikan jaringan 5G menggunakan frekuensi 2,6 Ghz dan 3,5 Ghz.
Sedangkan dari infrastruktur, penetrasi fiber optik 5G di Indonesia masih rendah karena terkendala dari regulasi daerah. "Sehingga, perlu adanya sinkronisasi antara regulasi pusat dan daerah untuk mendorong percepatan pembangunan (infrastruktur) 5G ini," ujarnya.
Sebelumnya, Huawei juga memperkirakan waktu adopsi internet jaringan generasi kelima atau 5G di Indonesia bisa lebih cepat dari 2022. Salah satu faktor pendukungnya adalah infrastruktur yang sudah terbangun, seperti Palapa Ring atau dikenal dengan Tol Langit.
(Baca: XL Axiata Pakai Teknologi Huawei untuk Kelola Jaringan 2G hingga 5G)
Selain itu, jaringan fiber hingga menara pemancar alias base transceiver station (BTS) sudah tersedia di Tanah Air. “Yang paling penting saat ini adalah regulasi dan spektrumnya. Nah, itu yang menjadi tantangan," kata Direktur ICT Strategy Huawei Indonesia Mohamad Rosidi kepada Katadata.co.id, akhir Juli 2019.
Untuk itu, dia menilai pemerintah perlu menetapkan spektrum atau frekuensi yang pas untuk 5G dan membuat regulasinya. Tentunya dengan mempertimbangkan dari sisi bisnis. “Apakah bisnis itu potensial?” kata dia.
Pada umumnya, ada tiga komponen penting dalam menerapkan 5G di Indonesia yaitu bisnis, regulasi, dan infrastruktur. Jika ketiga hal ini sudah siap, masyarakat bisa segera mengadopsi teknologi 5G.
(Baca: Bos Huawei Siap Jual Teknologi 5G ke Perusahaan Kawasan Barat)