Survei Centre for International Governance Innovation (CIGI) tahun 2019 menyebut bahwa 86 % pengguna internet di seluruh dunia pernah tertipu oleh hoaks. Sebanyak 77 % dari korban mengatakan, sumber berita palsu yang paling sering mereka kutip berasal dari Facebook.
Berdasarkan laporan tersebut, mayoritas pengguna internet yang tertipu hoaks setidaknya sekali. Selain itu, 44 % mengatakan bahwa mereka kadang-kadang atau sering tertipu.
Menurut laporan CIGI, 77% pengguna Facebook mengatakan mereka secara pribadi melihat berita palsu di sana. Kemudian, 62% pengguna Twitter dan 74% pengguna media sosial pada umumnya juga pernah menjadi korban hoaks. “Insiden penggunaan berita palsu tampaknya paling lazim ditemui Facebook,” seperti dikutip dalam laporan CIGI, Senin (17/6).
(Baca: Tak Batasi Medsos saat Sidang MK, Kominfo: Belum Ada Peningkatan Hoaks)
Adapun, laporan penggunaan atau kutipan hoaks dari Facebook mencapai 67%, media sosial secara umum 65%, situs internet 60%, YouTube 56%, televisi 51%. Kemudian, sumber media arus utama sebanyak 45%, media cetak 44%, blog 41%, Twitter 40%, dan lainnya 25%.
Laporan tersebut melanjutkan, berita palsu dianggap kurang lazim pada sumber media tradisional. Sebab, lebih sedikit klaim dari responden yang menemukan hoaks pada media cetak, televisi, atau di sumber media arus utama.
Maraknya penyebaran hoaks di media sosial diakui oleh mayoritas pengguna internet yang disurvei di semua negara, kecuali Jerman, Republik Korea, Rusia, dan Jepang. Yang menarik, 56% warga Jepang mengatakan mereka tidak menggunakan Facebook.
Lima negara terbanyak yang pengguna internetnya menyatakan telah menyaksikan berita palsu di Facebook adalah Nigeria (91%), Tunisia (91%), Kenya (87%), Indonesia (84%), dan Mexico (83%). Kemudian dilanjutkan oleh Mesir (81%), Afrika Selatan (80%), dan Turki (77%).
(Baca: Twitter Pimpin Investasi Rp 1,4 T di Perusahaan Media Sosial India)
Sementera itu, laporan tersebut menyebut bahwa secara global, Twitter kurang dikenal sebagai sumber berita palsu, sebab 35% responden memang tidak menggunakannya.
Bagaimanapun, Indonesia merupakan negara urutan kedua yang penduduknya paling banyak terpapar hoaks dari platform ini (62%), setelah Turki (68%). Selain itu, hoaks di Twitter tersebar di wilayah Amerika Latin (52%), Timur Tengah/Afrika (51%), Amerika Utara (38%), Negara G8 (32%), dan Eropa (30%). “Insiden berita palsu di Twitter lebih tinggi di negara berkembang di dunia,” dikutip dalam laporan tersebut.
Sebanyak 10% dari pengguna Twitter dan 9% pengguna Facebook mengatakan bahwa mereka telah menutup akun mereka dalam satu tahun terakhir akibat maraknya berita palsu.
Sebagian besar pengguna internet di seluruh dunia mendukung upaya yang dapat dilakukan pemerintah dan perusahaan internet untuk memerangi hoaks. Di antara langkah yang dapat dilakukan menurut 85% responden adalah menghapus konten, menghapus akun penyebar hoaks (84%), mengadopsi pendekatan otomatis untuk identifikasi (79%), dan sensor pemerintah (61%).
(Baca: Kominfo Pantau Sebaran Hoaks Jelang Sidang Sengketa Pilpres di MK)
Survei ini dilakukan dengan melibatkan lebih dari 25 ribu pengguna internet di puluhan negara di seluruh Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan kawasan Asia-Pasifik. Survei ini dilakukan oleh Ipsos bersama CIGI dengan Internet Society (ISOC) dan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD).