Tidak jarang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) kebingungan memilih jurusan di perguruan tinggi. Sebab, beberapa di antaranya belum mengenal betul karakter diri sendiri sehingga sulit menentukan jurusan yang sesuai dengan kepribadiannya. Berangkat dari persoalan itu, Frisky Nurmuhammad merilis platform digital pendidikan bernama Ikigai.
Ikigai merupakan platform yang membantu siswa SMA untuk mengetahui kepribadian atau karakter diri sendiri. Berdasarkan karakter tersebut, platform ini memberikan rekomendasi jurusan dan perguruan tinggi yang bisa dipilih. Hal ini sesuai dengan makna dari Ikigai, yang dalam filsafat Jepang berarti alasan untuk hidup.
Saat ini, sebanyak 20 ribu siswa sudah menggunakan layanan Ikigai. Pengguna tersebut tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi hingga Nusa Tenggara. “Pengguna paling banyak di wilayah Jawa Barat,” ujar CEO Ikigai Frisky kepada Katadata, Senin (11/3). Untuk meningkatkan jumlah pengguna, Ikigai pun bekerja sama dengan pihak sekolah.
(Baca: Aturan Baru Masuk Perguruan Tinggi Negeri )
Frisky menjelaskan, siswa SMA tak perlu menunggu hingga duduk di kelas 12 untuk menggunakan layanan Ikigai. Sejak di bangku SMA, siswa sudah bisa menggunakan platform ini. Bahkan, menurutnya lebih baik siswa mulai memikirkan jurusan mana yang hendak dipilih sedini mungkin. Dengan begitu, siswa bisa mempersiapkan diri untuk meraih jurusan di perguruan tinggi yang dituju.
Untuk menggunakan layanan Ikigai, siswa bisa mendaftar lewat situs myikigai.asia. Siswa yang bersangkutan hanya perlu mengisi data diri dan akademik, lalu menyertakan dokumen yang akan diverifikasi oleh Ikigai. Selain itu, Ikigai menggandeng beberapa sekolah untuk menyediakan rapor digital online guna merekam data akademik siswa. Dengan begitu, siswa otomatis terhubung degan layanan Ikigai.
Rapor tersebut nantinya berisi nilai mata pelajaran, absen, dan kegiatan ekstrakulikuler siswa. Dari data tersebut, siswa cukup menggunakan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) untuk masuk ke platfrom Ikigai. Data akademik siswa pun langsung tersedia di platform Ikigai. “Siswa hanya perlu melengkapi data prestasi, keahlian, dan sertifikatnya. Data itu bisa dipakai untuk mendaftar ke universitas,” ujar dia.
Untuk proses pencatatan data tersebut, Ikigai tidak memungut biaya. Namun, Ikigai juga menyediakan layanan konsultasi secara elektronik (e-konseling) lewat fitur konseling dan tes psikologi di platformnya. Nah, untuk layanan konsultasi ini Ikigai mengenakan biaya Rp 15 ribu per sesi. Dalam hal ini, Ikigai bekerja sama dengan konselor.
Lewat konsultasi itu, siswa juga akan melakukan tes psikologi. Ikigai juga mengenakan tarif untuk tes ini. Namun, besarannya ditentukan oleh konselor. Dengan menyediakan layanan konsultasi ini, Ikigai pun menerapkan sistem bagi hasil dengan konselor. “Tetapi, lebih banyak fitur yang tersedia di platform kami itu gratis,” kata Frisky.
Tahun ini, Frisky menargetkan agar platformnya bisa digunakan siswa untuk mendaftar ke universitas swasta di dalam negeri. Ia juga berharap bisa memperluas layanannya untuk pendaftaran ke perguruan tinggi di luar negeri. “Target kami bisa ke Australia, Singapura, dan Malaysia,” kata dia.
Adapun Ikigai dibangun pada awal 2018. Ikigai sudah memeroleh pendanaan dari Alpha Momentum Indonesia sebesar US$ 20 ribu atau sekitar Rp 280 juta. Selain itu, Ikigai mendapat dana hibah senilai US$ 15 ribu atau sekitar Rp 210 juta dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Sebab, Ikigai merupakan stratup binaan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Kemenristekdikti.
(Baca: Kemenristekdikti akan Impor 200 Dosen Asing)
Salah seorang siswa SMA swasta di Jakarta Barat, Setyo Ardiansyah (18 tahun) menyampaikan, dirinya memang sempat kebingungan memilih jurusan di perguruan tinggi. Siswa jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ini mengatakan dirinya berminat pada hal-hal terkait bisnis dan pemasaran. “Jadi masih bingung mau milih jurusan apa? Padahal sudah mau Ujian Nasional (UN),” ujarnya.
Sementara itu, siswa SMA swasta Lani (17 tahun) mengatakan dirinya berminat masuk jurusan statistik. Akan tetapi, ia lebih ingin bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri. Untuk itu, ia mempertimbangkan jurusan yang memungkinkan bagi dirinya diterima di perguruan tinggi negeri. “Saya pilih jurusan statisik. Tapi lihat juga peluang jurusan lain yang jarang dipilih supaya bisa masuk ke perguruan tinggi negeri,” katanya.