Genjot Ekspor, Jaringan Universitas Rekomendasikan 10 Komoditas Unggul
Pemerintah tengah mencari cara untuk mendongkrak kinerja ekspor. Jaringan universitas yang fokus pada isu pengembangan ekspor -- University Network for Indonesia Export Development (UNIED) – pun merekomendasikan 10 komoditas ekspor unggulan untuk dikembangkan pemerintah.
Peneliti UNIED Muhammad Firdaus menyebutkan 10 komoditas ekspor unggulan yang dimaksud yakni batu bara, minyak kelapa sawit mentah, karet, ikan olahan, tekstil, industri kertas, kopi, nikel, kakao, serta kayu dan furnitur. Komoditas ini disebut unggulan dengan beberapa kriteria.
"Kriterianya, komoditas ini dapat berkontribusi dalam perbaikan neraca dagang, kontribusi ke pertumbuhan ekonomi, dan inkusif growth untuk penyerapan tenaga kerja," kata dia dalam acara peresmian National Export Dashboard (NED) dan Sarasehan Komoditas Ekspor Unggulan di Eximbank, Jakarta, Rabu (27/2).
(Baca: Kementan Lepas Ekspor Manggis ke Tiongkok 3.010 Ton)
Menurut dia, dari 10 komoditas ekspor unggulan tersebut, ada dua komoditas yang sangat dinamis dalam meningkatkan ekspor, yaitu kakao serta kayu dan furnitur. Pertama, kakao. Daya saing produk kakao Indonesia sangat kompetitif, terutama produk lemak/minyak kakao.
Ini tercermin dari nilai Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) produk lemak/minyak kakao Indonesia yang jauh di atas 0,5 bahkan mendekati 1. Pada 2017, nilai RSCA-nya tercatat sebesar 0,86 pada 2017. Ini lebih kompetitif dibandingkan lemak/minyak kakao Belanda, padahal Negeri Kincir Angin merupakan eksportir terbesar komoditas tersebut.
Selain itu, daya saing produk kakao lainnya dari Indonesia juga tergolong kompetitif. Nilai RSCA kulit kakao tercatat sebesar 0,78, pasta kakao 0,70, dan tepung kakao 0,73.
(Baca: Kementan Pangkas Anggaran Pengembangan Kakao dan Kelapa)
Yang perlu dicermati, produksi kakao Indonesia menurun. Padahal, tengah terjadi peningkatan konsumsi oleh industri pengolahan. Akibatnya, impor kakao mengalami peningkatan. Penurunan produksi kakao di antaranya disebabkan oleh lahan yang terus dikonversi menjadi komoditas lain.
Ke depan, Firdaus memperkirakan pertumbuhan ekspor kakao ke AS masih positif sebesar 16,2%. Sebab, konsumsi cokelat dan permen di AS diperkirakan akan melanjutkan tren kenaikan didukung oleh pertumbuhan populasi dan meningkatnya daya beli.
Kedua, kayu dan furnitur. Komoditas ini memiliki daya saing yang baik di Asia. Menurut dia, Indonesia memiliki daya saing yang tinggi untuk jenis produk arang kayu, kayu (belum diolah), kayu lapis, bingkai kayu, dan tatakan kayu. Daya saing yang baik tersebut ditunjukkan dengan RSCA yang mendekati 1.
(Baca: Perang Dagang Berpeluang Tingkatkan Ekspor Furnitur hingga 15%)
Namun, Indonesia memiliki pesaing yaitu Vietnam yang industri kayunya mengalami peningkatan pesat dalam 5 tahun terakhir. Peningkatan industri tersebut juga didukung oleh upah tenaga kerja yang murah dan melimpah. Di sisi lain, perjanjian kerja sama Vietnam dengan beberapa negara turut memudahkan penetrasi produk mereka.
Bila dibandingkan, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekspor kayu sebesar 18,9% dalam 15 tahun terakhir. Di sisi lain, Vietnam mengalami pertumbuhan 1.881,4% dalam periode yang sama.
Pada tahun ini, ia memperkirakan ekspor kayu dan furnitur kayu ke Jepang akan tumbuh positif yaitu 10,6%. Sebab, sejak bencana Tsunami yang melanda Fukushima, ada kebutuhan besar produk kayu lapis dari Negeri Sakura. Selain Jepang, Korea Selatan diperkirakan menjadi pasar yang potensial.
Menanggapi rekomendasi UNIED, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan menindaklanjuti. "Saya minta di kementerian/lembaga yang menangani komoditas itu untuk mengkaji hal itu," ujarnya.
Ia pun akan meminta sejumlah Pemerintah Daerah (Pemda) untuk fokus pada pengembangan komoditas unggulan tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan mengarahkan pendidikan vokasi untuk mendukung pengembangannya. Selain itu, ia mempertimbangkan peningkatan anggaran pada 2020 untuk membantu pengembangan komoditas ekspor unggulan.