Pemerintah akan menerapkan denda bagi perusahaan digital global, seperti Meta hingga Google yang melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut sumber yang dikutip dari Reuters, saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementerian Keuangan sedang menggodok nominal denda. Aturan ditargetkan rampung Juni 2022. Selain pengenaan denda, pemerintah juga dikabarkan akan menerapkan dakwaan secara pidana bagi platform internet dan media sosial yang melanggar aturan.
Melalui aturan itu, perusahaan akan diminta untuk menghapus konten yang dianggap melanggar hukum dalam waktu empat jam. Konten-konten tersebut seperti terorisme, ketertiban umum, perlindungan anak, dan pornografi.
Apabila tidak menaati permintaan penghapusan, perusahaan akan didenda per konten. Denda akan meningkat jika konten bertahan lebih lama di platform.
Selain itu, pemerintah juga akan memblokir konten dan staf perusahaan pelanggar aturan akan menghadapi sanksi pidana.
Peraturan tersebut akan berlaku untuk semua platform digital mulai dari media sosial, e-commerce, hingga teknologi finansial (fintech).
Juru Bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi mengonfirmasi bahwa aturan yang diberitakan Reuters merupakan penyusunan peraturan pelaksana dari UU ITE. Regulasi itu sendiri sudah disahkan sejak 2008 dan direvisi pada tahun 2016 lalu.
"Namun, Kementerian Kominfo bersama Kementerian Keuangan sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RPP PNBP) terkait Kementerian Kominfo," katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (24/3).
Sedangkan, salah satu muatan dalam RPP PNBP itu yakni nilai denda yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran pada UU ITE. Selain UU ITE, perusahaan digital akan dikenakan denda apabila melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).
Dedy juga mengatakan, RPP PNBP sifatnya hanya mengatur sanksi administratif dan tidak mengatur pengenaan ketentuan pidana. "Adapun untuk pengaturan ketentuan pidana tetap merujuk pada UU ITE," katanya.
Sebelumnya, sumber Reuters itu menyebut bahwa pemicu adanya denda bagi Meta hingga Google karena membanjirnya konten online yang melanggar hukum di Indonesia. Ini mulai dari penipuan hingga hoaks soal politik dan virus corona.
"Kami membutuhkan tindakan tegas sekarang karena pemerintah telah dikritik dan dianggap tidak mampu menjalankan kewajibannya," kata sumber dikutip Reuters, Rabu (23/3).
Namun, sumber Reuters mengatakan bahwa denda akan berpotensi memperlambat pertumbuhan pesat perusahaan digital global di Indonesia.
Tiga sumber di tiga perusahaan media sosial juga khawatir tentang kemungkinan daya jangkau yang lebih besar dari pemerintah terhadap konten di media sosial. "Ada hal yang kurang jelas tentang apa yang akan tercakup, seperti konteks terorisme. Aturan itu juga memungkinkan kami dapat diminta untuk menghapus kritik terhadap pemerintah, seperti topik-topik Papua Barat," kata sumber perusahaan itu.
Di sisi lain, Indonesia menjadi pasar yang besar secara global berdasarkan jumlah pengguna bagi perusahaan teknologi global. Facebook dari Meta misalnya mempunyai 150 juta pengguna di Indonesia pada 2021. Jumlah ini menempatkan Indonesia menduduki peringkat ketiga pengguna aplikasi besutan Mark Zuckerberg terbanyak di dunia.
Sedangkan, bagi TikTok Indonesia merupakan pasar kedua terbesar di dunia pada 2020. Melansir dari Statista, ada 22,2 juta pengguna aktif bulanan (monthly active users/MAU) aplikasi video pendek tersebut di tanah air pada tahun lalu.
Potensi ekonomi digital Indonesia juga besar. Google, Temasek, dan Bain dalam laporan bertajuk e-Conomy SEA 2021 memperkirakan, nilai ekonomi digital Indonesia US$ 70 miliar atau Rp 997 triliun pada 2021. Nilainya diprediksi melonjak menjadi US$ 146 miliar atau sekitar Rp 2.080 triliun pada 2025.