Pemilik baru Twitter, Elon Musk, bakal menarik tarif atau biaya pemakaian dari pengguna Twitter yang berasal dari pemerintah dan komersil. Langkah ini diutarakan seiring dengan rencana Twitter menawarkan fitur-fitur baru dalam meningkatkan kepercayaan publik.
Namun, Twitter tetap akan gratis untuk pemilik akun kebanyakan. "Twitter akan selalu gratis untuk pengguna biasa, tetapi mungkin sedikit biaya untuk pengguna komersial/pemerintah," kata Musk dikutip dari akun resminya, Rabu (4/5).
Reuters telah menghubungi pihak Twitter untuk melakukan konfirmasi, tapi korporasi berlambang burung biru itu menolak memberi komentar.
Sejak membeli Twitter pada Senin (25/4) lalu, Elon Musk telah mengungkapkan berbagai rencana perubahan. Dia ingin meningkatkan platform dengan fitur-fitur baru, membuat algoritma open source (terbuka untuk umum) untuk meningkatkan kepercayaan, mengalahkan bot spam, dan mengautentikasi semua pengguna.
Musk juga mengatakan dia akan membuat Twitter transparan mengenai sebuah tweet promo dan ingin perangkat lunaknya tersedia untuk umum sehingga siap menerima masukan dan kritik.
Dia juga berencana menerapkan prinsip kebebasan berbicara di platform media sosial itu. Namun, kelompok hak digital khawatir visi ini justru membuat maraknya konten berisi ujaran kebencian hingga hoaks. Direktur kebijakan di kelompok hak digital internasional Access Now Javier Pallero khawatir Elon Musk akan mengambil pendekatan yang lebih bebas dalam moderasi konten.
Pallero mengatakan, akun yang mengunggah konten eksplisit ilegal seperti pornografi dapat dengan mudah beredar. Konten ini juga diperkuat tanpa pembeda dari unggahan lain. Kemudian, muncul masalah konten seperti ujaran kebencian, yang tidak secara eksplisit ilegal, tetapi masih berbahaya. Moderasi konten ini akan longgar dan menjadi lebih umum.
"Tidak mungkin Elon Musk dapat menggunakan platform yang layak untuk kebebasan berekspresi, jika ia tidak memberikan batasan tertentu," kata Pallero dikutip dari Business Insider, Rabu (27/4).
Menurut dia, maraknya konten ujaran kebencian akan berdampak pada pengucilan kelompok tertentu. Mereka yang biasanya dari kelompok minoritas bakal merasa dikucilkan dan terpinggirkan dari platform. Sedangkan pengguna Twitter bukan hanya berasal dari Amerika Serikat (AS), tetapi juga negara lainnya.
Asisten Profesor Sosiologi di Rutgers University Thomas Davidson sepakat dengan kekhawatiran Pallero. Sebab, Elon Musk selama ini sering membuat konten yang memecah belah, menyebarkan informasi yang salah, dan terlibat konflik dengan pengguna lain di Twitter.
"Twitter milik Elon Musk juga dapat menandai kembalinya mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan lainnya, yang sebelumnya dilarang dari platform karena telah menghasut dan menyebarkan ujaran kebencian," kata Davidson.