Google didenda US$ 85 juta atau sekitar Rp 1,3 triliun di negara bagian Arizona, Amerika Serikat (AS). Raksasa teknologi ini dianggap melacak lokasi pengguna perangkat Android seperti Xiaomi dan Samsung secara ilegal.
Jaksa Agung Arizona Mark Brnovich menggugat Google pada Mei 2020. Ia mengklaim bahwa ‘pola gelap’ atau ‘dark patterns’ dibangun di dalam perangkat lunak (software) Google di ponsel atau aplikasi Android.
Dark patterns adalah antarmuka pengguna yang dibuat untuk mengelabui pengguna agar melakukan sesuatu, seperti membeli asuransi yang mahal.
Gugatan tersebut menyebutkan bahwa Google terus melacak lokasi pengguna Android untuk mengumpulkan data iklan. “Bahkan setelah pengguna mematikan berbagi lokasi, dan membuat pengaturan privasi untuk menjaga informasi lokasi tetap sulit ditemukan,” demikian isi gugatan dikutip dari The Verge, akhir pekan lalu (7/10).
The Associated Press melaporkan pada 2018 bahwa Google melacak pengguna melalui layanan seperti Google Maps, pembaruan cuaca, dan pencarian (browser) meski Riwayat Lokasi dimatikan.
Bloomberg menyebutkan, denda US$ 85 juta merupakan yang terbesar yang pernah diberikan kepada Google terkait konsumen.
"Ketika saya terpilih sebagai jaksa agung, saya berjanji kepada warga Arizona bahwa saya akan berjuang untuk mereka dan meminta pertanggungjawaban semua orang, termasuk perusahaan seperti Google," kata Brnovich dalam pernyataan.
“Saya bangga dengan penyelesaian bersejarah ini yang membuktikan tidak ada entitas, bahkan perusahaan teknologi besar, yang kebal hukum,” tambah dia.
Juru bicara Google José Castaneda mengklaim bahwa kasus itu didasarkan pada kebijakan produk usang yang telah lama diperbarui. “Kami menyediakan kontrol langsung dan opsi hapus otomatis untuk data lokasi, dan selalu bekerja untuk meminimalkan data yang kami kumpulkan,” kata Castaneda.
“Kami senang masalah ini diselesaikan dan akan terus memusatkan perhatian untuk menyediakan produk yang bermanfaat bagi pengguna,” tambah dia.