Indonesia tengah menuju penerapan circular economy atau ekonomi sirkular. Pemerintah kini tengah mendorong daur ulang sampah plastik berkelanjutan dan pengadaan barang ramah lingkungan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pada 2025 pemerintah menargetkan bisa mengurangi 30% sampah plastic serta menangani 70% sampah lain melalui gerakan 3R: reduce, reuse, dan recycle atau mengurani, menggunakan ulang, dan mendaur ulang.
Target ini dicanangkan mengingat limbah sampah plastik cukup besar di Indonesia. Di kota besar sepert Jakarta bahkan mencapai 8 ribu ton per hari. “Sehingga harus mengambil langkah tak biasa. Pendekatan sistem penanganan sampah berbasis plastic, misalnya melalui fasilitas pengelolaan sampah menjadi bahan bakar (Refuse Derifered Fuel/RDF),” kata Luhut dalam acara peluncuran Packaging Recovery Organization (PRO), Selasa (25/8).
Teknologi RDF memungkinkan pengelolaan sampah melalui proses homogenizers menjadi ukuran/butiran kecil (pellet). Bahan ini kemudian bisa digunakan sebagai energi baru terbarukan atau EBT dan menggantikan batu bara.
Luhut menyatakan, program tersebut sudah terlaksana di Cilacap, Jawa Tengah. Pemerintah menargetkan pengadaan program serupa di 10 kota lain dengan volume sampah di bawah 200 ton per hari.
Besarnya jumlah sampah tak lepas dari masih rendahnya inisiatif masyarakat mendaur ulang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hanya 1,2% rumah tangga yang mendaur ulang sampahnya. Seperti bisa terlihat dalam Databoks di bawah ini:
Oleh karena itu, Luhut menyatakan program pendaur ulangan sampah menjadi EBT hanya bisa terlaksana dengan kolaborasi pemerintah dan swasta.
Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menggodok aturan pengadaan barang ramah lingkungan (green procurement policy) di lingkungan kementerian/lembaga. “Jadi ke depan barang daur ulang akan diberi label dan jadi prioritas barang yang digunakan di pemerintahan,” kata Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK, Ujang Solihin Sidik, Jumat (19/6).
Dari sisi swasta, dorongan ke arah ekonomi sirkular dilakukan PT Unilever Indonesia. Head of Corporate Affairs and Sustainability Nurdiana Barus menyatakan, salah satu caranya adalah dengan meluncurkan bank sampah.
“Sejak 2008 dan sampai saat ini, kami membina 3.858 bank sampah di seluruh Indonesia,” kata Nurdiana dalam webinar SAFE Forum 2020: Scale It Up!, Selasa (25/8).
Nurdiana menyatakan, hingga 2019 perusahaannya telah menyerap 12.487 ton sampah non-organik. Unilever pun bekerja sama dengan Google untuk mendampingi pebisnis bank sampah mendaftarkan diri di platform Google My Business. Sehingga, lokasi bank sampah tersebut mudah dicari melalui Google Maps atau mesin pencari Google.
Lebih lanjut, Unilever pun menyiapkan stratgi less plastic, better plastic, dan no plastic. Selain itu, juga berupaya memakai kemasan daur ulang. Misalnya, kecap Bango menggunakan kemasan dari botol daur ulang PET.
“Strategi no plastic dengan meluncurkan pilot refill station.”
Apa Itu Ekonomi Sirkular?
Merujuk kepada artikel berjudul The Circular Economy-A New Sustainability Paradigm? yang ditulis Geissdoerfer dkk, ekonomi sirkular didefinisikan sebagai: sistem regeneratif yang meminimalkan penggunaan sumber daya, limbah, emisi, dan kelebihan energi dengan memperlambat, menutup, dan mempersempit siklus energi dan material.
Cara melakukannya adalah dengan desain sumber daya berkepanjangan, pemeliharaan, perbaikan, penggunaan kembali, produksi ulang, perbaikan ulang, dan daur ulang yang tahan lama. Hal ini berbeda dengan ekonomi linier yang memanfaatkan sumber daya menjadi barang produksi lalu berakhir sebagai limbah atau bersifat degeneratif.
Ellen McArthur Foundation, salah satu yayasan yang fokus pada isu ekonomi sirkular, merumuskan prinsip-prinsip konsep ini menjadi tiga. Pertama, didesain untuk menghilangkan limbah dan polusi. Kedua, produk dan material bisa terus digunakan. Ketiga, sistem pemanfaatan sumber daya alam yang regeneratif.
Parlemen Uni Eropa dalam situs resminya, Europarl.europa.eu, menulis bahwa konsep ekonomi sirkular penting untuk tetap menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri di tengah terus bertambahnya populasi manusia. Mengingat bahan baku, khususnya yang tersedia dari alam, jumlahnya terbatas.
Selain itu, ekonomi sirkular juga memungkinkan satu negara tak ketergantungan bahan baku kepada negara lain akibat stoknya menipis. Begitupun dapat membantu mengurangi dampak lingkungan lantaran penggunaan bahan baku secara cerdas mampu menurunkan emisi karbondioksida.
Menguntungkan Secara Ekonomi
Ekonomi sirkular juga membawa keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi. Parlemen Uni Eropa mencatat melalui sistem ini perusahaan Eropa berhemat 600 miliar euro atau setara dengan 8% keuntungan tahunan mereka. Di saat yang sama, mereka mengurangi emisi gas mencapai 2,4%.
Sementara konsultan McKinsey menyebut sistem ekonomi sirkular berpotensi menghemat biaya bahan baku mencapai US$ 340 miliar sampai US$ 380 miliar di industri otomotif Eropa. Di sektor barang yang bergerak cepat, penghematan dari biaya masuk bahan baku bisa mencapai 20% secara global. Setara dengan US$ 700 miliar atau 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global.
Beberapa negara Uni Eropa memang telah menerapkan ekonomi sirkular. Salah satunya Swedia yang menerapkannya melalui pengembangan pengelolaan sampah plastik. Persentase daur ulang di negara ini sudah mencapai 53%.
Denmark juga menjadi negara Uni Eropa lain yang menerapkannya. Pemerintah Denmark menerapkan pajak bagi perusahaan yang membuang limbah. Selain itu pemerintah negara ini menciptakan pasar bagi limbah dan barang bekas serta pengembangan data di bidang terkait.
Upaya pemerintah Denmark juga mendapat dukungan dari perusahaan swasta. Salah satunya Lego yang menjual limbah plastiknya agar dapat dimanfaatkan untuk pembuatan karpet serta peralatan berbahan plastic oleh perusahaan lainnya. Denmark diperkirakan bisa mendaur ulang limbahnya sampai 50% pada 2022.
Denmark dan United Nations Development Program (UNDP) pun menjalin kerja sama dengan Bappenas untuk mendorong terwujudnya ekonomi sirkular di Indonesia secara penuh pada 2024. Kerja sama ini terjalin pada Februari 2020 lalu.
Bappenas menerima pendanaan dari Denmark sebesar US$ 540 ribu yang disalurkan melalui UNDP sebagai fasilitator. Menteri Lingkungan Denmark, Lea Wermelin saat penandatanganan kerja sama menyatakan, transisi ke ekonomi sirkular adalah langkah penting bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Di Asia, baru Tiongkok, India dan Jepang yang telah sukses menerapkan ekonomi sirkular. Di Jepang, daur ulang telah mencapai 98% dari limbah besinya. Kesuksesan ini lantaran pemerintah Jepang bekerja sama dengan pebisnis lokal dalam menjalankannya.
Sedangkan, belum ada satupun negara di Asia Tenggara yang menjalankan sistem ekonomi sirkular. Jika Indonesia melakukannya, maka akan menjadi yang pertama dan bisa mempercepat tercapainya ekonomi berkelanjutan.