PBB Desak Lembaga Keuangan Setop Danai Proyek Bahan Bakar Fosil

ANTARA FOTO/REUTERS/Saiyna Bashir
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak lembaga keuangan pembangunan untuk berhenti mendukung proyek berbahan bakar fosil.
Penulis: Sorta Tobing
13/10/2020, 12.55 WIB

Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak lembaga keuangan pembangunan untuk berhenti mendukung proyek berbahan bakar fosil. Desakan ini muncul setelah adanya laporan yang menemukan Bank Dunia telah menginvestasikan US$ 12 miliar untuk sektor tersebut. Dana tersebut bahkan muncul setelah Kesepakatan Paris 2015 untuk memerangi perubahan iklim.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meminta koalisi menteri keuangan dan pembuat kebijakan dari puluhan negara untuk memastikan hal itu tidak terjadi lagi. “Kami membutuhkan kecepatan, skala, dan kepemimpinan yang tegas,” katanya, seperti dikutip dari Reuters, Senin (12/10).

Para aktivis lingkungan selama bertahun-tahun meminta agar bank komersial dan lembaga keuangan pembangunan berhenti meminjamkan uang untuk proyek bahan bakar fosil. Penggunaan minyak, gas alam, dan batu bara dalam skala besar terbukti menghasilkan gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan dan iklim.

Laporan Urgewald, kelompok lingkungan hidup yang berbasis di Berlin, Jerman, kemarin menyebut Bank Dunia telah menginvestasikan lebih US$ 12 miliar untuk proyek bahan bakar fosil sejak Kesepakatan Paris. Sebanyak US$ 10,5 miliar merupakan pembiayaan langsung untuk proyek baru.

Bahkan Bank Dunia mendukung peningkatan produksi minyak dan gas alam di Meksiko, Brasil, dan Mozambil. Urgewald lantas mempertanyakan komitmen lembaga keuangan itu dalam mencegah perubahan iklim.

Penasihat senior Urgewald Heike Mainhardt mengatakan dukungan bank ke bahan bakar fosil menghalangi transisi ke energi bersih. “Sangat menyesatkan ketika mereka bertindak seolah-olah menjadi juara iklim, padahal mereka menjadi bagian besar dari masalah ini,” katanya. "Bank Dunia yang terus memberikan miliaran bantuan publik telah mendistorsi pasar bahan bakar fosil."

Menanggapi laporan itu, Bank Dunia mengatakan pandangan tersebut terdistorsi dan tidak berdasarkan. “Kami telah berkomitmen hampir US$ 9,4 miliar untuk pembiayaan energi terbarukan dan efisiensi energi di negara berkembang dari 2015 hingga 2019,” demikian pernyataan tertulisnya.

International Finance Corporation (IFC), tangan kanan Bank Dunia, telah berkomitmen menghentikan investasinya ke lembaga keuangan Afrika dan Asia yang masih mendukung proyek batu bara. Aturan ini berlaku mulai 17 September lalu.

Lembaga itu akan memastikan bank-bank di bawahnya mengurangi eksposur ke proyek batu bara hingga 0% pada 2030. Pembatasan ke proyek batu bara harapannya akan memicu investor keluar dari sektor itu. “Secara historis, kebijakan dan prosedur lingkungan kami telah diadopsi oleh lembaga keuangan lain dan pasar secara umum,” kata Kepala Pembiayaan Iklim IFC Peter Cashin.

Para pegiat perubahan iklim menyambut baik langkah tersebut. Hal ini mengirimkan pesan yang jelas kepada perbankan komersial dan sektor asuransi bahwa keuangan publik tidak lagi tersedia untuk lembaga-lembaga yang mendukung proyek batu bara.

Ilustrasi. Polusi udara yang buruk di Tiongkok ( ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer)

Tentang Kesepakatan Paris

Melansir dari situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kesepakatan Paris pada 2015 merupakan peristiwa bersejarah. Sebanyak 195 negara sepakat menghentikan suhu pemanasan bumi tidak lebih dari dua derajat Celcius.

Langkah tersebut merupakan kesepakatan mengikat pertama sejak Protokol Kyoto pada 1997. Harapannya, dampak buruk dari perubahan iklim akibat emisi karbon dapat berkurang.

Tiongkok merupakan negara penyumbang emisi karbon dioksida (CO2) terbesar di dunia pada 2017. Data Statista menunjukkan sumbangan emisinya mencapai 28,21% dari total emisi dunia. Tumbuhnya perekonomian yang diikuti meningkatnya jumlah pabrik dan kendaraan bermotor membuat polusi udara di Tiongkok sangat tinggi.  

Di tempat kedua, negara penyumbang polusi karbon dioksida terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, yakni sebesar 15,99%, kemudian diikuti  India di urutan ketiga dengan sumbangan polusi CO2 sebesar 6,24 persen. Dari beberapa penelitian menunjukkan pemanasan global merupakan akibat meningkatnya produksi karbondioksida di muka bumi.

Polusi karbon dioksida telah dimulai sejak pertengahan abad ke-18 ketika dimulainya Revolusi Industri Di eropa. Pada 1751 jumlah CO2 di dunia diperkirakan sekitar 11 juta metrik ton. Kemudian pada 1960 telah meningkat lebih dari seribu kali lipat. Departemen Energi Amerika Serikat (EIA) memperkirakan emisi karbon dioksida pada 2040 akan meningkat 46 persen dibandingkan dengan saat ini.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia berkomitmen mengurangi emisi karbon hingga 29% dengan upaya sendiri. Lalu, sebesar 41% melalui kerja sama internasional. Komitmen pertama implementasi tersebut dimulai pada 2020 dan secara regular akan dilakukan pembaharuan setiap lima tahun sekali.