Indonesia dan Inggris Kerja Sama Proyek Transportasi Hijau Rp126 M
Indonesia dan Inggris akan meluncurkan proyek kerja sama di bidang transportasi hijau senilai 9 juta Poundsterling atau setara Rp 126 miliar Senin (5/7). Proyek ini diantaranya terkait pengembangan LRT di Semarang; dekarbonisasi transportasi inklusif di Medan, serta mobilitas bersih melalui kebijakan transportasi rendah karbon di seluruh kota.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jenkins, mengatakan bahwa meningkatkan transportasi dapat memberikan efek domino pada sektor lain. Indonesia dan Inggris dapat belajar dari satu sama lain saat masing-masing negara berupaya untuk mengembangkan infrastruktur dan perencanaan transportasi.
“Meningkatkan transportasi seperti meningkatkan Pendidikan. Ini dapat memicu reaksi berantai yang membawa lebih banyak perbaikan daripada yang bisa dihitung,” ujarnya dalam siaran pers, Senin (4/7).
Dia mengatakan, Future Cities Programme ini akan berkontribusi pada percepatan Indonesia menuju transportasi rendah karbon.
“Saya bangga mengumumkan peluncuran Future Cities Programme ini, yang berarti mulai hari ini kami memiliki portofolio proyek baru untuk berkolaborasi erat dengan Indonesia untuk meningkatkan transportasi perkotaan, sambil mengatasi perubahan iklim,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan, Novie Riyanto R, mengatakan bahwa pihaknya menyambut hangat dukungan bilateral Inggris untuk mendukung transisi transportasi rendah karbon.
“Kami setuju untuk menandatangani Implementasi Pengaturan karena kami melihat kesempatan ini sebagai kesempatan besar untuk mendukung upaya kami untuk memecahkan tantangan transportasi yang kompleks,” tuturnya.
Berikut lima proyek yang akan dikembangkan dalam kerja sama tersebut:
- Membuka peluang untuk light rail transit (LRT) di Semarang Raya.
Dipimpin oleh Buro Happold, proyek ini akan bekerja dengan Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan, PT Kereta Api Indonesia, dan otoritas Metropolitan Semarang untuk membuka hambatan keuangan dan pengiriman untuk pengembangan (LRT)
- Mengembangkan peralihan ke transportasi rendah karbon melalui peningkatan keselamatan bagi kelompok rentan.
Dipimpin oleh Arup, proyek ini akan bekerja dengan otoritas transportasi dan perkotaan, serta kelompok masyarakat di Semarang, Surabaya, dan Makassar untuk menunjukkan cara meningkatkan partisipasi perempuan dan kelompok terpinggirkan dalam perencanaan dan perbaikan transportasi umum. Pembelajaran dari program ini akan menjadi masukan bagi pengambilan kebijakan nasional di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan.
- Meningkatkan mobilitas perkotaan yang berkelanjutan di kota-kota metropolitan pesisir.
Dipimpin oleh WRI Indonesia, proyek ini akan membantu meningkatkan dan menerapkan strategi mobilitas perkotaan rendah karbon, inklusif, tangguh, dan aman di kota metropolitan pesisir Makassar dan Surabaya, yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut dan banjir.
- Dekarbonisasi transportasi inklusif di Indonesia
Dipimpin oleh Institut Lingkungan Stockholm di Universitas York, proyek ini akan berkontribusi pada rencana Kementerian Perhubungan untuk mengurangi emisi karbon transportasi perkotaan. Proyek ini juga akan memberikan dukungan kepada otoritas Medan Raya untuk mengembangkan, membiayai, melaksanakan, dan mempercepat proyek transportasi rendah karbon yang inklusif.
- Mobilitas bersih untuk metropolitan Jakarta
Institut Kebijakan Transportasi dan Pembangunan (ITDP) akan memberikan dukungan kepada Otoritas Transit Jakarta Metropolitan (BPTJ) dan Pemerintah Jakarta untuk meningkatkan tingkat transportasi rendah karbon di seluruh kota, dan untuk mengeksplorasi bagaimana pendekatan ini dapat ditingkatkan di tingkat nasional.
Berdasarkan survei Katadata Insight Center (KIC), sebanyak 66,1% responden dari kalangan pelaku investasi Indonesia sudah melakukan investasi hijau. Investasi hijau itu dilakukan dengan membeli saham perusahaan yang mengutamakan praktik Environmental, Social, and Governance (ESG).
Namun, ada pula 15,1% responden yang tidak melakukan investasi hijau. Di antara kelompok ini, mayoritasnya atau 64,4% tidak tahu perusahaan mana saja yang masuk dalam kategori "hijau".