Kebijakan yang hanya berorientasi kepada operasi bisnis biasa atau business as usual (BAU) bakal memicu dampak negatif krisis iklim. Perwakilan Presiden Indonesia untuk Global Blended Finance Alliance (GBFA), Mari Elka Pangestu, mengatakan paket kebijakan ekonomi perlu mempertimbangkan isu iklim.
"Perubahan iklim paling berdampak pada kelompok masyarakat yang paling rentan dan termiskin. Lebih banyak dirasakan oleh perempuan dan anak-anak," kata Mari Elka saat menyampaikan pidato utama Indonesia Sustainability Forum (ISF) di Park Hyatt Jakarta pada Jumat (8/9).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun 1,24% dan bakal meningkat hingga 7% pada 2060 jika pemerintah masih melanggengkan kebijakan ekonomi lewat skema BAU.
Dampak lanjutan seperti pendapatan 40% masyarakat bawah bisa turun hingga 2,2%. Selain memicu dampak negatif di sisi perniagaan, lemahnya inisiatif dalam menghitung dampak krisis iklim bakal menurunkan angka harapan hidup hingga 1,2 tahun akibat kualitas polusi udara yang makin memburuk. Selain itu, terdapat potensi hilangnya pendapatan tenaga kerja hingga 0,6%.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa pengaruh krisis iklim dapat menimbulkan berbagai bencana alam seiring dengan meningkatnya suhu laut. Kejadian tersebut dapat berlanjut pada penurunan produktivitas sekaligus mengerek angka kemiskinan yang tinggi hingga ancaman peningkatan kredit macet.
Mantan Menteri Perdagangan itu juga menyebut ancaman sektor keuangan berupa tingkat suku bunga yang tinggi akan mengerek biaya transisi hijau secara signifikan. Harga energi yang tinggi juga menimbulkan konsekuensi pada anggaran negara dan subsidi.
"Sektor keuangan hanyalah beberapa di antaranya. Oleh karena itu, kita perlu mempercepat pertumbuhan yang ramah lingkungan dan inklusif bagi negara-negara berkembang dan Indonesia," ujar Mari Elka.
Dalam kaca mata yang lebih makro, Mari Elka mengatakan penurunan ekonomi negara berkembang dan berpendapatan rendah bisa anjlok hingga 12% akibat kegiatan ekonomi yang hanya mengacu pada laju pertumbuhan semata. Menurutnya, angka tersebut merupakan hasil kajian Bank Dunia terhadap 40 negara."Jadi ini bukan sekedar angka, tapi benar-benar didasarkan pada analisis," ujarnya.
Adapun International Monetary Fund (IMF) menghitung potensi kerugian ekonomi yang terjadi di kawasan ASEAN akibat ancaman krisis iklim mencapai US$ 100 miliar atau sekira Rp 1,53 kuadriliun per tahun. Besaran tersebut dihitung dari efek bencana alam kebakaran hutan dan kenaikan permukaan air laut yang berdampak pada 190 juta penduduk atau dari 28,4% dari total warga ASEAN.
Direktur Utama IMF, Kristalina Georgieva, juga mengatakan bahwa kenaikan suhu bumi yang terjadi saat ini merupakan ancaman serius bagi stabilitas makroekonomi dan finansial global. Ancaman krisis iklim makin nyata dan berpotensi berdampak pada ketahanan pangan, pembangunan daerah pedesaan, dan kemiskinan.
Pada bulan Juli 2023, suhu udara rata-rata global berada di angka 17,08 derajat celsius, menjadi rekor suhu tertinggi dalam sejarah sejak pencatatan suhu dilakukan pada tahun 1979 oleh Climate Change Institute.
"Kita tahu bahwa suhu meningkat dua kali lipat, lebih cepat dari rata-rata global. Dan hal ini menyebabkan kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dan parah," Kristalina saat menyampaikan sambutan pembukaan Indonesia Sustainability Forum (ISF) di Park Hyatt Jakarta pada Kamis (7/9).