Freeport Optimis Capai Target Pengurangan Emisi pada 2030

ANTARA FOTO/Dian Kandipi/wpa/hp.
Pekerja melintasi areal tambang bawah tanah Grasberg Blok Cave (GBC) yang mengolah konsentrat tembaga di areal PT Freeport Indonesia, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, Rabu (17/8/2022).
Penulis: Mela Syaharani
23/10/2023, 19.09 WIB

PT Freeport Indonesia (PTFI) ikut mendukung pemerintah dalam upaya mengurangi emisi karbon guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Direktur Utama Freeport Tony Wenas mengungkapkan perkembangan pengurangan emisi perusahaan  tambang itu sudah mencapai 20%-an. Tony optimis perusahaannya dapat mencapai target tersebut.

“Sampai dengan sekarang ini tercapai sekitar 22-24% pengurangan emisinya, jadi saya yakin 2030 tercapai bahkan mungkin lebih cepat,” kata Tony Wenas dalam acara CEO Insight-Kompas 100 CEO Forum di Jakarta, pada Senin (23/10).

Optimisme akan tercapainya target ini salah satunya karena PTFI berencana untuk membangun pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) berkapasitas 265 megawatt (MW). Pembangkit berbasis gas itu rencananya bakal menggantikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pada 2027.

“Pada 2030 direncanakan bahwa pembangkit listrik tenaga gas yang menggunakan LNG (gas alam cair) itu sudah beroperasi,” ungkapnya.

Tony menyebut, peralihan dari PLTU ke PLTGU ini dapat lebih cepat dalam menurunkan emisi sekaligus penggunaan energi yang lebih bersih. “Dari emisi batu bara yang dibakar menjadi LNG, akan lebih banyak lagi pengurangan emisi,” ujarnya.

Freeport Gunakan Kereta Listrik 

Selain rencana peralihan PLTU ke PLTGU, target penurunan emisi sebesar 30% juga dilakukan dengan beberapa upaya lain. Misalnya, penggunaan kereta listrik sebagai alat transportasi untuk mengangkut bijih mineral sebanyak 110 ribu ton per harinya.

Selain itu, perusahaan melakukan penanaman kembali lahan bekas tambang untuk mendukung lingkungan dan memperhatikan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG).  Tony mengatakan upaya-upaya tersebut seharusnya bisa lebih cepat lagi menurunkan emisi karbon perusahaan sehingga diharapkan target pengurangan emisi pada 2030 bisa lebih besar dari 30%.

Di sisi lain, Tony juga menyebutkan tantangan utama yang dirasakan dalam dekarbonisasi. “Salah satu tantangannya adalah tantangan alam seperti topografi yang terjal dan curah hujan yang tinggi di Papua,” kata dia. 

Sebagai informasi, pemerintah Indonesia telah memperbarui komitmennya dalam mengurangi emisi karbon. Hal ini tercatat dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, yang kini dinamai Enhanced NDC dan sudah didaftarkan ke UNFCCC pada September 2022. 

NDC adalah komitmen negara-negara yang terlibat dalam Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi karbon dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Komitmen ini umumnya diperbarui lima tahun sekali. 

Dalam NDC pertama di 2016, Indonesia berkomitmen akan mengurangi emisi karbon sebanyak 29% dengan usaha sendiri, atau 41% dengan bantuan internasional. Kemudian dalam Enhanced NDC, target pengurangan emisi karbonnya naik menjadi 31,89% dengan usaha sendiri, atau 43,2% dengan bantuan internasional. 

Dalam skenario kondisi normal (business as usual), emisi karbon Indonesia pada 2030 diproyeksikan mencapai 2.869 juta ton ekuivalen karbon dioksida (MTon CO2e). 

Lantas dengan adanya Enhanced NDC, pemerintah menargetkan pengurangan emisi karbon secara mandiri sebesar 31,89% dari proyeksi business as usual, sehingga emisinya menjadi 1.953 MTon CO2e pada 2030.

Reporter: Mela Syaharani