Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP28) akan berlangsung pada 30 November hingga 12 Desember di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). Indonesia sebagai salah satu peserta COP28 akan membawa beberapa agenda, salah satunya adalah mengenai potensi teknologi penangkapan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) serta Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
CCS adalah proses yang melibatkan penangkapan emisi karbondioksida (CO2) dari proses industri dan menyimpannya di bawah tanah untuk mencegah emisi tersebut masuk ke atmosfer dan berkontribusi terhadap pemanasan global. Ada beberapa teknologi berbeda yang digunakan untuk menangkap karbon, termasuk penangkapan karbon pasca-pembakaran, penangkapan pra-pembakaran, penangkapan pembakaran bahan bakar oksi, dan penangkapan udara langsung. Setelah CO2 ditangkap, CO2 diangkut ke lokasi penyimpanan, biasanya jauh di bawah tanah, di mana CO2 disimpan dan diisolasi.
Dalam penangkapan karbon pasca-pembakaran, gas buang dikumpulkan sebelum dilepaskan ke udara. Emisi disalurkan ke perangkat yang disebut absorber, di mana CO2 berinteraksi dengan pelarut kimia yang menyerapnya. Proses ini memungkinkan CO2 untuk dipisahkan dari gas komponen lainnya, yang kemudian dilepaskan. CO2 dan pelarut kemudian dipisahkan sehingga pelarut dapat digunakan kembali, setelah itu CO2 dikompresi untuk transportasi dan penyimpanan.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Indonesia berpotensi menjadi pusat penyimpanan karbon (carbon hub) di Asia Tenggara. Lokasi penyimpanan karbon bisa berada di daratan maupun di lepas pantai.
Lokasi penyimpanan karbon itu disebut dengan depleted reservoir. Indonesia memiliki beberapa titik depleted reservoir di daratan, antara lain di Pulau Kalimantan dan Sumatra. Adapun titik penyimpanan karbon di laut lepas ada di utara Aceh, sebelah timur Riau, sebelah utara Banten, sebelah utara DKI Jakarta, Kepulauan Riau, hingga di ujung barat Papua.
"Kita salah satu negara dengan titik depleted reservoir terbesar di kawasan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan ada potensi penyimpanan karbon hingga 642 Gigaton," ujar Luhut dalam Katadata Sustainability Action for The Future Economy Forum (SAFE) 2023, di Jakarta, pada Selasa (26/9).
Data mengenai seberapa besar potensi penyimpanan karbon di Indonesia berbeda-beda menurut beberapa lembaga. Lemigas menyebut potensi penyimpanan CO2 di depleted reservoir minyak dan gas serta lapisan saline equifers (ekuifer air asin) sekitar 14 Gigaton.
Sementara itu, riset ExxonMobil memperkirakan potensi penyimpanan karbon di saline equifers mencapai 80 Gigaton. Rystad Energy menyebutkan angka yang paling besar, yakni lebih dari 400 Gigaton karbon bisa disimpan di depleted reservoir migas maupun di saline equifers. Dengan potensi yang besar tersebut, Indonesia bisa menerima karbon dari negara-negara lain untuk disimpan di dalam tanah.
Peran CCS untuk Menurunkan Emisi Karbon
Diofanny Swandrina Putri, Head of Business Development, Indonesia CCS Center (ICCSC), menyatakan teknologi CCS telah terbukti efektif untuk memangkas emisi karbon selama lebih dari 50 tahun. Ada beberapa negara yang sudah menggunakan teknologi ini seperti Amerika Serikat yang menggunakannya sejak 1972, Norwegia sejak 1996, dan Kanada sejak 2009.
Ia mencontohkan salah satu proyek CCS yang sukses adalah The Boundary Dam Project di Kanada yang beroperasi sejak 2014. Teknologi CCS di proyek tersebut mampu menangkap 1 MtCO2 per tahun dari pembangkit listrik. "Indonesia bisa mengadopsi teknologi ini dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan kebutuhannya," ujar Diofanny.
Selain mengurangi emisi karbon, CCS juga memiliki manfaat ekonomi yang besar. Diofanny mengambil studi kasus The East Coast Cluster Project di Inggris yang menunjukkan manfaat CCS hub bagi lingkungan maupun bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Proyek CCS tersebut mampu mengatasi sekitar 50% dari total emisi CO2 di klaster industrial di Inggris. Proyek itu juga memulai ekonomi hidrogen yang berkontribusi terhadap sekitar 70% dari target hidrogen biru (blue hydrogen) Inggris pada 2030 dengan kapasitas 10 GW.
Proyek tersebut juga mampu menciptakan 25.000 lapangan kerja per tahun hingga 2050. Proyek low carbon hub ini menciptakan momentum internasional menuju target Net Zero Emission (NZE).
Executive Director ICCSC Belladonna Troxylon Maulianda menyebut secara statistik, CCS bisa mengurangi 30% dari emisi global. "CCS itu kelebihannya bisa dilakukan sekarang, tidak perlu ada lahan yang besar di atas tanah," ujar Belladonna.
Hal ini berbeda dengan upaya pengurangan emisi karbon berdasarkan nature based solutions dengan menanam pohon atau memelihara hutan dan ocean based solutions lewat hutan mangrove. Kedua solusi itu membutuhkan lahan yang luas dan waktu yang cukup lama untuk bisa mengurangi emisi karbon dalam jumlah besar.
Kesiapan Indonesia menjadi Regional Carbon Hub
Ambisi Indonesia untuk menjadi regional carbon hub bukan sesuatu yang mustahil. Indonesia kini menjadi negara pertama di Asia yang mendorong kerangka hukum dan standardisasi untuk teknologi CCS.
Ada beberapa regulasi yang akan menjadi payung bagi pengembangan proyek CCS maupun CCUS di dalam negeri. Pertama, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, National Determined Contributions (NDC), dan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca.
Kedua, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2023 yang mengatur tentang implementasi CCS dan CCUS di aktivitas hulu migas. Ketiga, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Bursa Karbon yang mengatur tentang perdagangan karbon di IDXCarbon. Bursa Karbon ini diluncurkan pada 26 September lalu.
Keempat, ada Standar Nasional untuk operasi CCS yang mengadopsi ISO/TC 265 dengan fokus pada penyimpanan karbon geologis. Saat ini, Perpres yang bakal mengatur tentang cross-border CCS, penghasil karbon dari industri lain, dan injeksi karbon di luar wilayah migas tengah dalam tahap harmonisasi. Jika aturan tersebut rampung, Indonesia bakal memiliki aturan yang komplit sebagai landasan dalam implementasi CCS.
Momentum dari Proyek Raksasa Pertamina-ExxonMobil
Dalam pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Joe Biden di Gedung Putih, Washington DC, AS pada 13 November lalu, ada kerja sama penting di bidang penangkapan karbon. Perusahaan migas nasional PT Pertamina dan perusahaan energi AS, ExxonMobil, menandatangani kerja sama untuk mengembangkan CCS di Laut Jawa dengan nilai investasi lebih dari US$ 2 miliar atau sekitar Rp 31,4 triliun.
Pertamina dan ExxonMobil akan mengeksplorasi potensi CCS Hub di bagian barat Laut Jawa, yakni Cekungan Asri dan Cekungan Sunda. Lokasi ini menawarkan penyimpanan geologis dalam volume 3 Gigaton CO2. Proyek ini membidik penyimpanan karbon dari industri yang terdapat di sekitar lokasi maupun dari regional.
"Proyek ini akan memungkinkan Indonesia menjadi pemimpin regional dalam dekarbonisasi industri, karena memiliki potensi penyimpanan karbon yang sangat besar. Harapannya, di masa depan Indonesia dapat menjadi pusat CCS di Asia Tenggara," ujar Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Era Presiden Soeharto, Emil Salim, menilai kerja sama ini menjadi momentum penting yang menunjukkan bahwa pemerintah telah memiliki political will untuk mengembangkan zero carbon di Tanah Air. "Keputusan politik sudah ada, teknologi sudah ada. Yang dibutuhkan sekarang adalah action, perlu dukungan dari semua pihak untuk mengembangkan teknologi ini untuk mengatasi CO2 yang menyebabkan pemanasan global, mengancam kenaikan muka laut dan pulau-pulau kita," ujar Emil Salim.