Para pemimpin negara akan membahas lebih dalam peran teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon ( Carbon Capture and Storage/CCS) serta Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab. Saat ini penggunaan teknologi tersebut terkendala biaya yang tinggi sehingga sejumlah negara menghentikan proyek CCS/CCUS, seperti Norwegia dan Kanada.

Penggunaan teknologi ini juga belum terbukti secara pasti bisa mengurangi emisi karbon dioksida. Hal itu membuat teknologi ini sulit untuk dijual kepada publik yang masih awam. 

Menurut Global CCS Institute, saat ini terdapat 42 proyek CCS dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) komersial yang beroperasi di seluruh dunia dengan kapasitas untuk menyimpan 49 juta metrik ton karbon dioksida per tahun. 

Jumlah tersebut adalah sekitar 0,13% dari sekitar 37 miliar metrik ton emisi karbon dioksida tahunan dunia yang terkait dengan energi dan industri.

Adapun dari 42 proyek tersebut, tercatat sebanyak 30 proyek menggunakan karbon untuk pemulihan minyak yang ditingkatkan (enhanced oil recovery/EOR), di mana karbon disuntikkan ke dalam sumur minyak untuk membebaskan minyak yang terperangkap. 

Para pengebor mengatakan bahwa EOR dapat membuat minyak bumi lebih ramah iklim. Namun, para pencinta lingkungan mengatakan bahwa praktik ini kontra produktif.

Sedangkan 12 proyek lainnya secara permanen menyimpan karbon dalam formasi bawah tanah untuk meningkatkan produksi minyak. Proyek tersebut tersebar di berbagai wilayah yakni di AS, Norwegia, Islandia, Cina, Kanada, Qatar, dan Australia.

Biaya Tinggi

Penerapan teknologi CCS/CCUS membutuhkan biaya tinggi. Berdasarkan studi Ekonomi bagi ASEAN dan Asia Timur (ERIA) menyebutkan bahwa biaya pengambilan karbon sekitar US$ 45,92 per metrik ton karbon yang ditangkap. Sementara biaya untuk penyimpanan karbon sekitar US$ 15,93 hingga US$ 120 per metrik ton karbon yang ditangkap, tergantung pada sumber emisi, dan proyek DAC.

“Bahkan, harga tersebut bisa lebih mahal lagi, yaitu antara $600 hingga $1.000 per metrik ton, karena jumlah energi yang dibutuhkan untuk menangkap karbon dari atmosfer,” kata ERIA dilansir dari Reuters, Kamis (23/11).

Akibat biaya yang mahal tersebut, beberapa proyek CCS di negara-negara seperti Norwegia dan Kanada telah dihentikan sementara karena alasan keuangan. 

Para pengembang mengatakan bahwa mereka membutuhkan harga karbon, baik dalam bentuk pajak karbon, skema perdagangan, atau keringanan pajak. Instrumen tersebut membuat proyek penangkapan dan penyimpanan karbon menjadi menguntungkan.

Beberapa negara termasuk Amerika Serikat telah meluncurkan subsidi publik untuk proyek-proyek penangkapan karbon. Undang-undang Pengurangan Inflasi, yang disahkan pada tahun 2022, menawarkan kredit pajak sebesar US$ 50 per metrik ton karbon yang ditangkap untuk CCUS dan US$ 85 per metrik ton yang ditangkap untuk CCS, serta US$ 180 per metrik ton yang ditangkap melalui DAC.

Direktur Global Penangkapan Karbon di Clean Air Task Force mengatakan, meskipun insentif tersebut cukup berarti, perusahaan mungkin masih perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk memajukan proyek CCS dan DAC.

Sementara itu, beberapa proyek CCS juga telah gagal membuktikan kesiapan teknologi ini. Sebuah proyek senilai US$ 1 miliar di Texas misalnya, mengalami masalah mekanis yang kronis dan secara rutin meleset dari target sebelum akhirnya ditutup pada 2020, demikian menurut laporan yang disampaikan oleh pemilik proyek kepada Departemen Energi AS.

Sementara itu, Indonesia sudah memiliki 15 proyek kajian CCS/CCUS yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua. Sebagian besar proyek tersebut ditargetkan onstream sebelum 2030, di mana total potensi injeksi CO2 antara tahun 2030 hingga 2035 berkisar 25 hingga 68 juta ton.

Pemerintah Indonesia sejatinya telah merilis aturan CCUS lewat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaran Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Reporter: Nadya Zahira