Peran Besar Perempuan Pengelola Hutan di Tengah Deras Arus Patriarki

ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/tom.
Warga mengisi jeriken dengan air bersih dari sumur Geulis di Desa Padasuka, Lebak, Banten, Selasa (12/9/2023).
22/12/2023, 16.14 WIB

Sumbangsih perempuan dalam mengelola hutan masih menemui banyak kendala. Padahal perempuan memiliki sejumlah keunggulan dalam mengelola hutan yang tidak hanya mempertimbangkan faktor ekonomi, namun juga sosial dan berkelanjutan.

Hal ini mengemuka dalam Konferensi Forum Perempuan Penjaga dan Pengelola Hutan Indonesia (FP3HI) yang diselenggarakan November lalu.

Konferensi menyoroti bahwa lebih dari 80 persen pemilik izin perhutanan sosial adalah laki-laki dan berusia lanjut. Karena itu, sumbangsih perempuan dan kaum muda dalam pengelolaan hutan akan membuat pemanfaatan izin optimal, termasuk menghindari potensi konflik di dalam hutan.

“Jika bertemu perambah hutan, perempuan bukan adu otot. Ibu-ibu patroli justru mengajak bicara. Lama-lama perambah tidak kembali ke hutan,” kata Rubama, community officer Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, yang menjadi fasilitator.

Rubama mengatakan, sikap non-konfrontatif itu baru satu keunggulan. Secara umum, perempuan lebih telaten menarik manfaat hutan dibanding laki-laki yang cenderung fokus pada komoditas ekonomi.

Bagi perempuan, hutan penyedia kebutuhan dasar, mulai dari air bersih, bahan pangan, obat-obatan, kayu bakar sampai ke pakan ternak. Ketika kedekatan ini diletakkan dalam skema perhutanan sosial, peran perempuan semakin besar.

Menurut Rubama, perempuan juga fleksibel membangun komunikasi dengan semua pihak, termasuk perangkat desa sampai ke urusan menagih iuran warga. Perempuan juga melibatkan anak-anak remaja mengembangkan usaha dan promosi produk andalan desa via media sosial.

Hambatan Budaya Patriarki

Sayangnya, ada satu satu urusan besar yang tak dibicarakan terbuka, yakni budaya patriarki. “Di sinilah terletak ketidaksetaraan gendernya,” kata Lenny Rosalin, Deputi bidang Kesetaraan Gender, Kementerian Bidang Perempuan dan Anak saat membuka konferensi.

Dia mengatakan, sudah ada aturan pengarusutamaan gender di sektor kehutanan, tapi kebijakan ini perlu dibuat lebih menapak.

Di lapangan, pengelola perhutanan sosial cenderung dominan pria. Padahal di pelosok, perempuan adat mengalami beban ganda dalam sistem patriarki negara dan adat.

"Mereka masih minim mendapat pengakuan sebagai bagian dari masyarakat hukum adat. Jangan ditanya soal perhatian pada masalah-masalah perempuan adat. Nihil," ujar Lenny.

Sebaliknya, bukti praktik baik terus terjadi. Misalnya saja kisah para perempuan di kampung Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Kawasan Ekosistem Leuser, yang trauma akibat banjir bandang weh gile 2015.

Air bah itu membuat mereka menderita karena tak punya akses air bersih saat berminggu-minggu tinggal di pengungsian. Karena itu, sejak izin pengelolaan mereka peroleh pada 2019, mereka keluar-masuk hutan untuk berpatroli.

Para perempuan itu mencatat, memetakan, merawat dan menanami kembali sisi-sisi hutan yang terdegradasi. Pohon-pohon buah diperbanyak agar satwa liar punya makanan dan tidak turun ke desa.

Hasilnya, desa mereka pun mendapat penghargaan Anugerah Pesona Indonesia dan Kalpataru. Dunia internasional pun memberi status eco-village sekelas Asia Tenggara. Para rangers pun mendapat penghargaan Lotus Leaderships Awards dari The Asia Foundation di Amerika Serikat dan mengundang liputan media BBC dan NYTimes.

Perempuan petani dan petani muda pun turut menyumbang ketahanan pangan lokal dengan menerapkan tumpangsari tanaman pangan dan tanaman komoditas. Ini membuat produksi tanaman pangan menyumbang nutrisi keluarga, sekaligus bermanfaat untuk tujuan ekonomi.

Fasilitator kongres, Lili Hasanudin, mengatakan bahwa tujuan mempertemukan para perempuan penjaga hutan ini adalah membuat mereka saling berinteraksi memperluas jejaring dan advokasi perjuangan akses legal ke kawasan hutan melalui perhutanan sosial.

Menurutnya, kecepatan masing-masing kelompok berbeda. Namun, hal itu dinilai sebagai tantangan alih-alih hambatan. Pendamping kelompok juga sangat menentukan kemajuan yang diraih.

“Di Papua, misalnya, harus sering dilakukan acara-acara seperti ini. Setelah ini harus diadakan tindak lanjut dari kongres ini yang sifatnya tematik,” katanya

Selama empat hari para perempuan dan anak-anak muda pengelola hutan ini mendapat pengayaan diri, diakhiri dengan konferensi. Materinya mulai soal akses wilayah kelola hutan, di mana mereka perlu mengajukan skema perhutanan sosial atau bekerja sama dengan taman nasional

. Ada juga cara menggunakan citra satelit di hutan sebagai alat bantu pemetaan. Mereka berbagi cara membuat rencana kerja, rencana bisnis serta menyimak arahan pengelola dana lingkungan hidup. Konferensi juga menyampaikan paparan tentang kewirausahaan dan kampanye kreatif digital.