Forest Wacth Indonesia (FWI) menilai masa transisi kepemimpinan suatu pemerintahan baik presiden hingga bupati menjadi titik rawan bagi hutan di Indonesia.
Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI, Anggi Putra Prayoga, mengatakan izin kawasan hutan menunjukkan tren yang tinggi saat transisi pemerintahan, baik itu pemerintahan presiden, gubernur, bupati, atau walikota. Tren tersebut terjadi saat transisi pemerintahan pada 2014, 2019, hingga 2024.
“Dalam masa transisi ini, ini yang kita sebut sebagai obral izin baru. Jadi, yang terakhir ini kita identifikasi sebagai channel-channel izin baru yang akan muncul,” ujar Anggi dalam diskusi virtual, Kamis (11/7).
Anggi mengatakan, dalam praktiknya setidaknya ada tiga jalur yang biasa digunakan oleh pemangku kebijakan dalam konteks mengobral izin kawasan hutan. Pertama, berkaitan dengan izin pelepasan kawasan hutan. Sementara kedua, izin yang berkaitan dengan arahan pemanfaatan hutan.
Kemudia yang ketiga adalah melalui aktifasi mantah Aparat Penegak Hukum (APH). Anggi menjelaskan, terdapat banyak APH yang sudah tidak memiliki izin untuk mendapatkan konsesi untuk menebang hutan.
Anggi mengatakan, APH tersebut mayoritas mendapatkan konsesi untuk dapat memanfaatkan hutan dalam rentan waktu 1990 sampai dengan 2005. Izin inilah yang banyak diaktifkan saat masa transisi pemerintahan.
“Nah, ketika Pemda, pemerintah, atau dalam konteks ini KLHK mengetahui ada setiap juta hektare APH yang tidak aktif, maka itu salah satu indikasi akan digunakan izin baru,” ujarnya.
Sementara itu, pelepasan kawasan hutan menjadi suatu yang harus diwaspadai. Pelepasan Kawasan hutan sebagai bagian dari upaya untuk memperpanjang izin konsesi, melanggengkan kekuasaan dan juga termasuk bagian dari upaya untuk eksploitasi sumber daya alam yang ada.
“Jadi, banyak juga perlepasan hutan yang di dalam kawasan hutan itu masih berupa hutan sebetulnya. Karena sebetulnya mereka juga tidak mampu untuk melakukan operasionalisasi usaha mereka,” ucapnya.