Yayasan Warga Berdaya untuk Kemanusiaan (Warga Berdaya) meluncurkan inisiatif LaporIklim, platform yang bertujuan untuk membuka akses dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam melaporkan dampak perubahan iklim di Indonesia.
LaporIklim dilengkapi dengan chatbot yang membantu masyarakat melaporkan langsung berbagai fenomena perubahan iklim, seperti banjir, kekeringan, kenaikan air laut, dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Laporan yang masuk akan diolah dan dianalisis untuk menghasilkan informasi yang berharga bagi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
Siswanto, Ketua Tim Pengelolaan Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), menyoroti urgensi permasalahan perubahan iklim secara global maupun di Indonesia. Ia mengatakan kegagalan dalam memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim yang sedang berlangsung akan berdampak serius di masa depan, sehingga aksi nyata sangat diperlukan.
Menurut Siswanto, LaporIklim merupakan salah satu contoh aksi nyata yang digagas oleh generasi muda, bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk jurnalis. Platform ini diharapkan dapat membantu Indonesia menuju masa depan yang lebih aman dari risiko perubahan iklim yang semakin meningkat.
Selain itu, LaporIklim juga dapat membantu meningkatkan literasi masyarakat tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Bahkan, platform ini dapat berkontribusi dalam upaya menahan laju krisis iklim.
Hermanu Triwidodo, Kepala Tani dan Nelayan Center (TNC) IPB University, mengatakan pengetahuan global dengan kearifan lokal untuk melakukan adaptasi dan mitigasi sangat penting bagi penanggulangan perubahan iklim. Ia mengatakan saat ini petani telah berinisiatif melakukan langkah-langkah strategis dalam menghadapi perubahan iklim. Salah satunya, pendataan fenologi tumbuhan atau siklus hidup hewan dan tumbuhan yang terkait dengan periodisasi iklim.
Hermanu juga menyoroti ketidakadilan peran antara kelompok rentan dengan aktor penyebab perubahan iklim. Ia meminta petani dan pemuda diminta untuk memitigasi hal ini dengan mengurangi aktivitasnya. Sementara itu, pelaku utama penyebab perubahan iklim cukup memberikan carbon tip sebagai ganti rugi.
Ia juga menyoroti persoalan lain di mana para petani sering dilibatkan dalam agenda-agenda politik yang justru menyebabkan maladaptasi, sehingga berujung kegagalan panen.
Hermanu juga menekankan pada integrasi data global dengan praktik di lapangan. Data yang dikumpulkan bisa dihubungkan dengan tren dunia dan menghasilkan banyak kajian sehingga mampu memprediksi kejadian-kejadian mendatang.
Tarsono, petani muda dari Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim Indramayu, mengatakan komunitasnya selama kurang lebih 14 tahun mendalami agrometeorologi. "Kemampuan kami adalah menganalisis dengan mengaitkan data curah hujan dengan data ekosistem untuk mengetahui dampak dari pola hujan tertentu pada lahan dan tanaman," kata Tarsono.
Dari hasil analisis itu, petani terbantu untuk mengetahui masalah yang terjadi di lahannya dan dapat mencari solusinya. Agrometeorologi membantu petani mengantisipasi dan menentukan strategi budidaya tanaman yang didiskusikan bersama dalam rembug desa.
Perubahan Iklim Mengakibatkan Ketidakadilan
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan perubahan iklim mengakibatkan banyak ketidakadilan. Menurutnya ada empat dimensi ketidakadilan iklim:
1. Rekognisi: setiap kelompok masyarakat dari level manapun harus mendapatkan pengakuan atau rekognisi yang sama
2. Keadilan distributif: mitigasi dan adaptasi yang dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim harus terdistribusi secara merata
3. Keadilan prosedural: upaya untuk mengatasi perubahan iklim dengan seperangkat hukum, tata cara, etika, dan semacamnya harus melalui prosedur yang menghargai aspek rekognisi dan distribusi
4. Keadilan restorasi: bagaimana dalam pola mengembalikan segala dampak yang sudah terjadi bisa diperbaiki sesuai dengan kebutuhan masing-masing
Lewat platform LaporIklim, ia mendorong supaya ada lebih banyak pertukaran informasi untuk bisa saling membantu, belajar, dan berbagi. "Ini membutuhkan kerja sama dari semua pihak, tidak bisa hanya dari pemerintah, atau hanya petani, dan akademisi," ujarnya. Di sisi lain, lembaga swadaya masyarakat (LSM) menghadapi tantangan keterbatasan akses ke berbagai daerah.
Oleh karena itu, LaporIklim diharapkan bisa membantu masyarakat untuk saling belajar dan menggunakan platform ini untuk tanggap cepat. Platform ini juga akan menghubungkan ke pihak-pihak yang bisa membantu mengatasi solusi di lapangan.
Yoesep Budianto, relawan LaporIklim, mengungkapkan platform LaporIklim ke depan akan dikembangkan agar terintegrasi dengan data-data sekunder, seperti data iklim dari BMKG. Integrasi ini akan memungkinkan LaporIklim memberikan saran yang lebih spesifik dan relevan kepada petani terkait masa tanam dan panen di bulan-bulan mendatang. Misalnya, prediksi curah hujan dan suhu udara tiga bulan ke depan, saran masa tanam dan masa panen berdasarkan iklim, dan prediksi kekeringan.
"LaporIklim mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi aktif melaporkan dampak perubahan iklim melalui chatbot," ujarnya. Dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, pemerintah, akademisi, dan media akan mendorong perubahan positif dan mewujudkan Indonesia yang lebih tangguh dan berkelanjutan.