Pembangunan Pulau Sampah Berpotensi Mencemari Perairan Teluk Jakarta

ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/pras.
Sejumlah pemulung memindahkan limbah plastik yang sudah dipilah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (1/5/2020).
29/8/2024, 15.11 WIB

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai rencana pembangunan pulau sampah yang digadang oleh Penjabat Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Heru Budi, berpotensi mencemari perairan Teluk Jakarta. Pulau sampah di Maladewa dan Singapura yang menjadi rujukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun saat ini menimbulkan masalah sosial dan lingkungan.

Manajer Kampanye Polusi dan Urban Walhi, Abdul Ghofar, mengatakan reklamasi untuk pembuatan pulau sampah merupakan masalah besar yang akan berdampak pada hilangnya akses nelayan dan kerusakan ekosistem laut.

"Pulau sampah ini juga tidak akan berhasil mengatasi persoalan utama dari situasi darurat sampah di wilayah metropolitan Jakarta," ujar Ghofar kepada Katadata, Kamis (29/8).

Ghofar mengatakan, pulau sampah juga berisiko tinggi mencemari lingkungan dari jenis sampah seperti plastik, limbah elektronik, dan jenis limbah B3 (bahan beracun berbahaya) lain. Kondisi tersebut akan memperburuk situasi perairan Teluk Jakarta yang saat ini sudah tercemar logam berat dan mikroplastik.

"Pembuatan pulau sampah akan memperparah situasi tersebut," ujarnya.

Menurut dia, proyek pulau sampah di Maladewa dan Singapura yang menjadi rujukan rencana PJ Gubernur DKJ memiliki sejumlah masalah seperti kesehatan dan lingkungan. Selain itu, kondisi pengelolaan sampah di Jakarta tidak bisa disamakan dengan Singapura dan Maladewa yang terkendala keterbatasan lahan untuk fasilitas pengelolaan sampah.

Ghofar mengatakan, proyek pulau sampah di Maladewa menimbulkan kerusakan ekosistem laut karena cemaran limbah seperti baterai bekas, asbes, timbal dan material lain yang masuk ke perairan.

"Pencemaran ini menyebabkan kerusakan ekologi sekaligus meningkatkan risiko kesehatan bagi masyarakat," ucapnya.

Sementara itu, Pulau Semakau yang dijadikan pulau sampah oleh Singapura saat ini dalam kondisi terisi lebih dari setengahnya dan terancam kelebihan kapasitas. Akibatnya, muncul desakan dari pakar di Singapura untuk mulai fokus pada upaya pengurangan sampah secara signifikan pada keseluruhan siklus material baik sampah plastik maupun organik.

Menurut Ghofar, berdasarkan pengalaman Pulau Sampah di Maladewa dan Singapura tersebut, kebijakan pembangunan pulau sampah baik di Jakarta maupun wilayah lain adalah pilihan yang tidak tepat.

"Tidak ada urgensi dari sisi pengadaan lahan dan kebijakan ini juga tidak akan menyelesaikan persoalan darurat sampah jika pemerintah enggan mengupayakan langkah-langkah pengurangan dari sumber sampah," ujarnya.

Reporter: Djati Waluyo