Pangan Lokal Jadi Solusi untuk Pangkas Emisi Karbon Makanan

Katadata/Hari Widowati
Koalisi Ekonomi Membumi menyelenggarakan diskusi "Sustainable Plates: Where Local Food Meets Tech, Finance, and Emission", di Idea Fest 2024, Jakarta, Sabtu (28/9).
Penulis: Hari Widowati
30/9/2024, 13.38 WIB

Makanan yang kita konsumsi memiliki perjalanan panjang sebelum sampai ke piring kita. Semakin panjang rantai perjalanan makanan tersebut, semakin besar emisi karbon yang dihasilkan. Karena itu, pangan lokal menjadi solusi untuk memangkas emisi karbon dari makanan yang kita konsumsi.

Nurdana Pratiwi, Enterprise Development Officer Eco Nusa, mengungkapkan pengalamannya melestarikan pangan lokal di Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Ia menggunakan model ekonomi yang sesuai dengan masyarakat adat setempat.

"Di Kaimana ada pala yang tumbuh dengan sendirinya, ini oleh masyarakat sekitar disebut sebagai pala burung karena pohon tersebut tumbuh dari biji yang dibawa oleh burung," ujar Pratiwi dalam diskusi "Sustainable Plates: Where Local Food Meets Tech, Finance, and Emission" yang diselenggarakan Koalisi Ekonomi Membumi, di Idea Fest 2024, Jakarta, Sabtu (28/9).

Pala adalah salah satu rempah-rempah yang memiliki nilai jual tinggi. Namun, pemasaran pala khas Kaimana ini masih menghadapi tantangan berupa aksesibilitas terhadap infrastruktur dan distribusi yang terjangkau. Selain itu, sumber daya manusia yang ada di Papua rata-rata adalah lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Cindi Shandoval, CEO Pinaloka, menceritakan pengalamannya mendokumentasikan kuliner lokal di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Perempuan lulusan arkeologi ini melihat ada makanan asli daerah yang mulai jarang ditemukan karena yang bisa memasaknya hanya para maestro kuliner yang rata-rata sudah berusia senja.

Ia tergerak untuk mendokumentasikan kuliner lokal dengan membuat Sustainable Heritage Tourism berupa fine dining dengan mengajak tiga maestro juru masak lokal. Cindi pun mengajak komunitas seniman, pengusaha, dan masyarakat lainnya untuk bergabung di Sentra Kreatif Siak.

Di Kabupaten Siak yang wilayahnya banyak berupa lahan gambut, Cindi melihat ada beberapa komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan, seperti nanas, ikan gabus, dan anyaman pandan.

"Anak-anak muda yang pernah sekolah di luar daerah enggan kembali ke Siak karena lapangan kerja di sini minim. Makanya kita bangun inkubasi bisnis lestari, social enterprise yang melibatkan anak-anak muda dalam riset dan merestorasi lahan gambut dengan cara yang keren," ujarnya.

Teknologi Tradisional

Saniy Priscilla, Cofounder & Chairperson Pratisara Bumi Foundation, mengandalkan teknologi tradisional dalam produksi pangan. Ia membina para petani di Bali untuk memanfaatkan metode yang paling cocok dalam proses menanam, memilih jenis pangan, mengelola, dan menyimpannya.

"Kelestarian lingkungan, keadilan ekonomi, dan keberlanjutan bukan konsep baru. Kami menggunakan teknologi tradisional, seperti tempe adalah produk dari teknologi tradisional kita," ujar Saniy.

Sarah Azzahra, Product Specialist Jejakin, mengungkapkan pertanian restoratif bisa menjadi solusi untuk mengurangi jejak karbon dalam produksi pangan. "Semakin kompleks produksi dan distribusi, emisi karbon akan lebih besar," kata Sarah.

Menurut Our World in Data, produksi daging sapi satu kilogram (kg) menghasilkan emisi 39,23 kgCO2e. Produksi daging ayam satu kg menghasilkan emisi 6,9 kgCO2e, sedangkan produksi telur per kilogram menghasilkan emisi 4,8 kgCO2e. Adapun produksi sayur-mayur per kilogram menghasilkan emisi karbon 2 kgCO2e dan kacang-kacangan menghasilkan emisi 2,3 kgCO2e.