Liputan Khusus | Katadata Green COP29

Perubahan Iklim Jadi Pemicu Krisis Keuangan Bayangan

ANTARA FOTO/REUTERS/Loren Elli
Bencana alam akibat cuaca ekstrem semakin sering terjadi karena perubahan iklim.
Penulis: Hari Widowati
12/11/2024, 14.05 WIB

Bulan lalu, Badai Helene dan Badai Milton menyebabkan kerusakan properti senilai US$51,5 miliar (Rp 811,76 triliun) hingga US$81,5 miliar (Rp 1.284 triliun). Sebagian besar kerusakan itu terjadi di Amerika Serikat bagian tenggara, menurut perkiraan CoreLogic.

Kerusakan akibat Badai Helene dan Badai Milton sangat besar. Namun, angka kerugian itu hanya sebagian kecil dari kerugian yang ditimbulkan oleh perubahan iklim di seluruh dunia. Sebuah laporan baru memberikan sinyal peringatan tentang perubahan iklim dan bencana alam, dan menemukan total kerugian ekonomi yang ditimbulkannya mencapai triliunan dolar AS.

Laporan dari Kamar Dagang Internasional (ICC) dirilis saat Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP29 dimulai di Azerbaijan minggu ini. Laporan tersebut memperkirakan total biaya kerusakan akibat kejadian cuaca ekstrem terkait iklim secara global mencapai sekitar US$2 triliun (Rp 31,52 kuadriliun) antara 2014 hingga 2023. Nilai kerugian akibat perubahan iklim ini setara dengan kerugian ekonomi akibat krisis keuangan global 2008.

ICC, organisasi bisnis terbesar di dunia, mempromosikan perdagangan dan investasi internasional. Dalam laporan yang dirilis pada Minggu (10/11), kelompok ini mengatakan mereka ingin mendorong pemerintah dan perusahaan-perusahaan untuk mempercepat kebijakan-kebijakan yang akan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), yang secara langsung berkontribusi pada perubahan iklim global.

“Seperti halnya krisis keuangan global yang ditanggapi dengan cepat dan terpadu oleh para pemimpin dunia, kita membutuhkan pemerintah untuk memahami bahwa dampak ekonomi dari perubahan iklim memerlukan tanggapan yang sama cepat dan tegasnya,” ujar John W.H. Denton AO, Sekretaris Jenderal ICC, dalam sebuah pernyataan kepada CNN.

Laporan ICC Dirilis Setelah Donald Trump Menang Pemilu AS

Laporan ICC dirilis kurang dari seminggu setelah Donald Trump terpilih kembali sebagai Presiden AS. Trump telah berjanji untuk membatalkan peraturan iklim di negara tersebut, termasuk membatalkan batas polusi pada knalpot kendaraan bermotor dan pembangkit listrik. Pada masa jabatannya yang terakhir, Trump menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, dengan alasan perjanjian tersebut memberikan beban ekonomi yang tidak adil bagi warga Amerika.

Laporan ICC menilai hampir 4.000 peristiwa cuaca di enam benua dalam dekade terakhir. ICC menggabungkan kerugian moneter langsung dari kehancuran rumah, bisnis, dan infrastruktur serta dampak cuaca ekstrem terhadap produktivitas manusia.

Laporan tersebut menemukan sekitar 1,6 miliar orang terkena dampak dari kejadian cuaca ekstrem. Jumlah korban akan semakin meningkat seiring berjalannya waktu: Telah terjadi peningkatan sebesar 83% dalam bencana iklim yang tercatat antara tahun 1980-1999 dan 2000-2019.

Menurut data ICC, kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem pada 2022-2023 mencapai US$451 miliar (Rp 7.109 triliun). Angka ini meningkat 19% dibandingkan dengan rata-rata tahunan selama delapan tahun sebelumnya.

“Data dari dekade terakhir menunjukkan secara definitif, perubahan iklim bukanlah masalah di masa depan: kerugian produktivitas dari peristiwa cuaca ekstrem sedang dirasakan di sini dan saat ini oleh ekonomi riil,” kata Denton.

Data terpisah yang dirilis minggu lalu oleh Copernicus Climate Change Service di Eropa menyatakan dunia kemungkinan besar akan melampaui tonggak sejarah yang suram tahun ini. Tahun 2024 kemungkinan akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat.

Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: