Pergeseran Target Puncak Emisi ke 2035 Berisiko Gagalkan Target Net Zero RI
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pergeseran target puncak emisi Indonesia dari 2030 ke 2035 dalam rancangan dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) terbaru dapat mengancam tercapainya target net zero emission pada 2060 atau lebih awal.
Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan dengan jadwal puncak emisi yang mundur, upaya Indonesia untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius sebagaimana disepakati dalam Paris Agreement akan semakin sulit tercapai.
“Apa yang sudah kita sampaikan tetap tidak sejalan dengan target Paris Agreement. Dengan tingkat emisi yang ingin dicapai tahun 2030 dan 2035 itu masih belum sejalan dengan target menjaga suhu di bawah 2 derajat Celcius,” ujar Fabby dalam konferensi pers, Senin (20/10).
Menurut Fabby, target emisi bersyarat (conditional target) dalam NDC Indonesia menunjukkan puncak emisi baru akan terjadi pada 2035, sementara untuk sejalan dengan skenario 1,5°C, emisi Indonesia seharusnya sudah mencapai puncak sebelum 2030.
“Kalau kita ingin (kenaikan suhu Bumi) 1,5 derajat Celcius sesuai Paris Agreement, maka emisi kita harus puncak di 2030, lalu turun hingga 2050, bukan 2060,” ujarnya.
Konsekuensi Keterlambatan Puncak Emisi, Biaya Penurunan Emisi Jadi Lebih Mahal
Ia menambahkan, keterlambatan mencapai puncak emisi akan membuat proses penurunan emisi menjadi lebih sulit dan mahal. “Kalau puncaknya semakin lama, menurunkannya dengan cepat itu akan lebih mahal biayanya dan kompleksitasnya lebih tinggi. Kemungkinan kita tidak bisa deliver, itu kenapa harus peaking as soon as possible,” kata Fabby.
Jika tren ini berlanjut, Fabby memprediksi target net zero emission 2060 berpotensi tidak tercapai. “Dengan target digeser ke 2035, bisa jadi nanti target net zero kita tidak tercapai pada 2060 atau lebih awal,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan sektor energi seharusnya sudah dapat mencapai net zero pada 2050, sementara sektor lain seperti hutan dan lahan bisa lebih cepat. “Pembangkit listrik, industri, transportasi mungkin agak lebih lama dari 2050, tapi masih dalam rentang itu. Hutan dan lahan seharusnya bisa lebih cepat,” jelasnya.
IESR juga mencatat bahwa dalam strategi jangka panjang pemerintah, masih terdapat residual emissions atau sisa emisi pada periode 2050–2060. Kondisi ini memperlihatkan, tanpa langkah percepatan yang nyata, ambisi Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih akan menghadapi tantangan besar.