Perusahaan Migas Tiongkok Mulai Lirik Bisnis Energi Hijau

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Ilustrasi, pembangkit listrik tenaga bayu (angin). Perusahaan migas asal Tiongkok ingin mengembangkan energi terbarukan, salah satunya tenaga angin.
4/9/2020, 17.58 WIB

Perusahaan migas milik pemerintah Tiongkok mulai berinisiatif mengembangkan proyek pembangkit listrik dari energi terbarukan seperti hidrogen dan angin. Langkah tersebut diambil setelah harga minyak jatuh cukup dalam pada semester pertama tahun ini.

Dilansir dari Reuters, rencana tentatif Petrochina, Sinopec, dan CNOOC itu sejalan dengan rencana perusahaan migas multinasional seperti BP, yang bersiap menghabiskan dana besar untuk aset energi terbarukan. Hal itu untuk menjaga bisnis perusahaan tetap relevan di masa depan dengan tren emisi rendah karbon.

Perusahaan kilang minyak terbesar di dunia, Sinopec, bahkan ingin memimpin proyek hidrogen Tiongkok. Perusahaan itu rencananya membangun stasiun pengisian bahan bakar hidrogen, di samping SPBU-nya, di Pantai Timur Tingkok.

Namun, proyek tersebut akan dilaksanakan dengan hati-hati. "Itu merupakan langkah strategis," ujar Chairman Sinopec Zhang Yuzhuo dikutip dari Reuters pada Kamis (3/9).

Sedangkan PetroChina pada pekan lalu menyatakan sebagai perusahaan pelat merah pertama yang menargetkan near-zero emissions pada 2050. Sedangkan perusahaan eksplorasi offshore CNOOC bakal memulai pengembangan proyek tenaga angin lepas pantai pada akhir 2020.

Meski begitu, target tersebut masih tertinggal dari perusahaan energi raksasa asal Eropa. Pasalnya, kebijakan energi Tiongkok masih berkutat pada transisi energi yang berpatokan pada gas alam dan batu bara rendah emisi dibandingkan mendorong EBT secara komprehensif.

Sinopec mengatakan hanya merencanakan membangun proyek hidrogen "skala tertentu" dari suplai hidrogen murni tingkat tinggi pada 2025. "Ini langkah kecil menuju arah yang benar. Pertanyaannya yaitu seberapa cepat mereka membuat perubahan," ujar Peneliti dai Bernstein, Neil Beveridge.

Dekan China Institute for Studies in Energy Policy, Lin Boqiang, mengatakan risiko ekonomi hidrogen dibesar-besarkan seiring pemerintah provinsi berebut mendapatkan investasi dari Beijing. "Sumber EBT Tiongkok terkonsentrasi di bagian utara dan barat laut, pengangkutan hidrogen berbasis energi hijau ke pusat-usat konsumsi di timur dan selatan akan menjadi tantangan yang luar biasa," kata Lin.

Di sisi lain, Tiongkok menargetkan permintaan gas alam, yang mengeluarkan setengah dari kadar karbondioksida batu bara, meningkat 15% dari total konsumsi energi primer pada 2030. Hal itu didorong oleh konsumsi pembangkit listrik dan perumahan.

Petrochina sejuah ini memasukkan pembangkit listrik tenaga gas ke dalam investasi hijaunya. Sedangkan CNOOC berkomitmen meningkatkan pangsa gas alamnya menjadi 30% pada 2025 dari 19% pada saat ini. Sinopec berencana menggandakan produksi serpihan gas (gas shale) selama periode yang sama.

Sementara itu, pasar tenaga surya dan angin di Tiongkok berkembang cukup pesat. Hal itu didukung oleh subsidi pemerintah dan penurunan biaya pokok produksi listrik.

Industri tersebut pun telah dipenuhi oleh produsen listrik swasta dan perusahaan pelat merah Tiongkok. Sehingga perusahaan minyak raksasa kesulitan mewujudkan ambisi energi hijau mereka.