Pasar Obligasi Hijau Makin Menarik Usai Jerman Terbitkan Green Bond

ANTARA FOTO/REUTERS/Christian Mang/wsj/dj
Ilustrasi. Jerman menerbitkan obligasi berwawasan lingkungan atau green bond pada awal pekan ini. Dana yang berhasil dihimpun mencapai 6,5 miliar euro.
Penulis: Sorta Tobing
9/9/2020, 12.41 WIB

Masuknya Jerman dalam obligasi hijau merupakan perkembangan paling signifikan. Surat utang negara itu selama ini dianggap yang paling aman di zona euro karena bebas risiko. Karena itu, penjualan green bond-nya dapat menjadi referensi penerbitan surat utang serupa.

“Langkah tersebut sangat penting karena memberi sinyal untuk perusahaan dan pemerintah lain menerbitkan obligasi hijau,” kata manajer portofolio dari Union Investment, Alexander Schubert, dikutip dari Forbes.

Obligasi hijau Jerman akan dipasangkan dengan jaminan surat utang konvensional bertenor dan kupon yang sama. Investor dapat menukar obligasi hijau mereka dengan obligasi konvensional setiap saat. Struktur ini dirancang untuk menghilangkan ketakutan sekuritas hijau yang kurang likuid akan diperdagangkan dengan harga lebih rendah.

Dengan masuknya Jerman, nilai pasar obligasi hijau diperkirakan mencapai US$ 1 triliun pada tahun depan. “Pasar obligasi hijau tumbuh setiap tahun, tapi langkah Jerman bisa membuka pintu air,” kata manajer portofolio di AXA Investment Managers, Johann Ple.

Nilai US$ 1 triliun itu sebenarnya terbilang kecil dari keseluruhan pasar utang. Jadi, menurut Ple, langkah tersebut baru awal perjalanan, peluang masih terbuka lebar.

Green bond, melansir dari Kontan.co.id, pertama kali terbit pada semester kedua 2008 oleh Bank Dunia. Indonesia pernah menawarkan green bond berbasis syariah dalam dua tenor sekaligus pada 2018. Hasilnya cukup memuaskan dengan nilai permintaan yang 2,4 kali lipat lebih tinggi dari penawaran. Pemerintah berhasil mengantongi US$ 3 miliar.

Dana tersebut untuk membiayai proyek infrastruktur terkait perbaikan lingkungan. Salah satunya, proyek pengendalian banjir dan drainase perkotaan. Meskipun menjamin tidak ada dana untuk infrastruktur berbasis bahan bakar fosil, namun dalam catatan Reuters ada pula proyek green sukuk itu yang mencakup aspek deforestasi.

Sektor kehutanan sebagai korban dari deforestasi dan degradasi menyumbang emisi karbon dioksida sebesar 26,8 miliar ton dari 2013-2018 akibat hilangnya tutupan pohon di Indonesia. Sementara 1,04 giga ton lainnya paling banyak disebabkan oleh sektor perkebunan. Dalam hal ini, sawit dan aktivitas dalam konsesi HPH-HTI menjadi penyebab langsung deforestasi.

Faktanya, lebih dari 80% riwayat penggundulan hutan akibat pembukaan lahan sawit yang terjadi terus menerus memberikan dampak yang signifikan terhadap iklim global. Karena itu, Indonesia dituding sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.

Halaman: