Riset: Sektor Energi Terbarukan Ciptakan 11,5 Juta Pekerjaan Anyar

ANTARA FOTO/Kornelis Kaha
Ilustrasi. Sektor energi terbarukan menciptakan 11,5 juta pekerjaan secara global tahun lalu, mayoritas dari proyek pembangkit listrik panel surya.
Penulis: Sorta Tobing
30/9/2020, 13.01 WIB

Sektor energi terbarukan menciptakan 11,5 juta pekerjaan secara global tahun lalu. Data terbaru dari Badan Energi Terbarukan Interansional atau IRENA mencatat, sekitar 3,8 juta pekerjaan berasal dari panel surya.

Edisi ketujuh laporan berjudul Renewable Energy and Jobs – Annual Review itu menyebut 63% pekerjaan baru tersebut tercatat berada di Asia. Angka ini membuat posisi Benua Kuning menjadi pemimpin pasar energi terbarukan.

Di bawah panel surya adalah biofuel yang menciptakan 2,5 juta tenaga kerja. Banyak dari pekerjaan ini berada dalam rantai pasokan padat karya, terutama di Brasil, Kolombia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. “Energi terbarukan menciptakan lapangan kerja dan pendapatan di pasar berkembang dan sedang berkembang,” kata Direktur Jenderal IRENA Francesco La Camera dalam siaran persnya, Rabu (30/9).

Energi lainnya yang menciptakan banyak pekerjaan adalah tenaga air dan angin, masing-masing 2 juta dan 1,2 juta pekerjaan. Angka-angka ini menunjukkan investasi energi terbarukan menghasilkan keuntungan lebih besar dibanding energi fosil, menurut CEO Global Wind Energy Council (GWEC) Ben Backwell.

Dalam perhitungannya, dengan dana US$ 1 juta untuk energi bersih, lapangan kerja yang tercipta tiga kali lebih banyak daripada bahan bakar fosil. IRENA memprediksi tenaga angin bakal menghasilkan sepertiga listrik dunia pada 2050 dan bakal menciptakan 42 juta pekerjaan.

Di sektor angin lepas pantai, GWEC memperkirakan sekitar 51 gigawatt (GW) akan tercipta di seluruh dunia pada 2024. Proyek ini menciptakan hampir 900 ribu pekerjaan baru dalam lima tahun ke depan.

Indonesia Peringkat Dua di Energi Biofuel

Dalam laporan IRENA Jobs Review 2020, ada 10 negara yang menciptakan lapangan pekerjaan energi terbarukan terbanyak. Negara itu adalah Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, India, Bangladesh, Vietnam, Malaysia, Brasil, Jerman, dan Filipina.

Meskipun 58% konsumsi energi primernya berasal dari batu bara, pekerjaan yang tersedia di industri pertambangan Negeri Panda turun dari 5,3 juta pada 2013 menjadi 2,6 juta orang pada awal 2020. “Sebagai perbandingan, lapangan kerja yang diciptakan industri terbarukan Tiongkok naik 4,4 juta pada 2019, menyumbang 38% pekerjaan energi terbarukan global,” kata penasihat senior Agora Energiewende Kevin Tu.

Indonesia berada di peringat dua dari sepuluh negara yang memimpin penciptaan lapangan pekerjaan di energi biofuel. Peringkat pertamanya adalah Brasil. Di urutan ketiga adalah Amerika Serikat. IRENA menyebut Indonesia sebagai produsen biodiesel terbesar dengan jumlah tenaga kerja 494,4 ribu orang.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga bayu (angin). (ANTARA FOTO/REUTERS/Phil Noble/aww/cf)

Dorong Dunia Kerja Lebih Inklusif

Energi terbarukan juga menciptakan dunia kerja yang lebih inklusif dibandingkan energi fosil. Laporan itu menyebut perempuan menempati 32% dari total pekerjaan di sektor itu, dibandingkan 22% di energi beremisi tinggi. Dari 1,2 juta pekerjaan di bidang tenaga angin, misalnya, lebih dari seperlima adalah perempuan.

Kebijakan komprehensif di energi hijau juga mendukung berbagai inisiatif pendidikan dan pelatihan para pekerja. Termasuk di dalamnya pelatihan kejuruan dan guru, pengembangan kurikulum, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, promosi kemitraan publik-swasta, serta perekrutan kelompok-kelompok yang kurang terwakili seperti perempuan.

IRENA berpendapat pembuat kebijakan juga harus memprioritaskan memberi pelatihan kepada para pekerja energi fosil yang berpotensi kehilangan mata pencaharian. Mayoritas dari mereka seharusnya sudah memiliki keterampilan dan keahlian yang dapat berkontribusi pada industri energi bersih.

Lapangan pekerjaan yang berkembang di energi hijau seharusnya semakin mendorong transisi energi di tengah pandemi corona. “Ketika dunia menghadapi Covid-19, manusia kembali diingatkan tentang apa yang terjadi jika kita gagal mengatasi perubahan iklim,” ujar La Camera.