Banyak Stigma Soal Nuklir, DPR Minta Pengembang Lakukan Sosialisasi

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Tim Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) bersama Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) melakukan dekontaminasi temuan paparan tinggi radioaktif di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (15/2/2020).
1/10/2020, 18.28 WIB

Penolakan Energi Nuklir dalam RUU EBT

Sebelumnya, masuknya energi nuklir dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (RUU EBT) menjadi perdebatan. Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Mahawira Singh Dillon menyebutkan sejumlah alasan mengapa memasukkan bahan bakar itu tidak tepat.

Pertama, secara geografis Indonesia terletak di kawasan Cicin Api yang aktif sehingga rawan gempa dan tsunami. “Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu pembangkit listrik tenaga listrik (PLTN),” katanya dalam diskusi virtual, Rabu (23/9). Kasus kebocoran radioaktif PLTN Fukushima di Jepang merupakan dampak setelah gempa bumi dan tsunami pada 2011.

Penyimpanan limbah pembangkit listrik itu juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Kondisinya sangat sulit untuk Indonesia. Bila limbah nuklir bocor ke dalam air tanah, dampaknya sangat berbahaya.

Kedua, masuknya nuklir dalam rancangan undang-undang EBT merupakan langkah kontraproduktif dengan asas ketahanan, keberlanjutan, kedaulatan, dan kemandirian energi. Faktanya, pasokan uranium negara ini hanya dapat mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas seribu megawatt selama enam hingga tujuh tahun saja.

Kalau bersikeras menjadikan nuklir sebagai energi baru, Wira memprediksi Indonesia akan bergantung pada impor uranium dari luar negeri. Alih-alih memakai bahan bakar berisiko, lebih baik pemerintah memanfaatkan energi terbarukan, seperti surya, air, angin, biomassa, dan panas bumi.

Sumber energi tersebut melimpah dan pembangunan pembangkitnya dapat diterapkan dari skala kecil hingga besar. “Dari perkotaan hingga area terpencil,” ujar Wira.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan