Industri Mobil Listrik di Indonesia Dibelit Tumpukan Masalah

123RF.com/Petovarga
Ilustrasi. Pemerintah sedang mempercepat pertumbuhan industri kendaraan listrik dalam negeri.
10/11/2020, 16.50 WIB

Dengan adanya integrasi industri ini dari hulu ke hilir, nilai tambahnya akan semakin besar. Dari sisi rantai pasok pun Indonesia menjadi lebih dominan.

Sama dengan Fabby, Bhima juga berpendapat pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur pendukung, mulai dari charging station sampai insentif pajak. “Sehingga mobil listrik lebih kompetitif daripada yang berbahan bakar fosil,” ucapnya.

Pemerintah saat ini memang sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) percepatan pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai beserta infrastruktur pendukungnya. Salah satunya melalui skema stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) dan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

Berdasarkan roadmap itu, pengembangan SPKLU tahun ini butuh investasi RP 309 miliar. Angkanya naik hingga Rp 12 triliun pada 2030. “Dananya untuk membangun 7 ribu SPKLU,” kata Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi beberapa waktu lalu.

Untuk SPBKLU tahun ini diproyeksikan mencapai 4 ribu unit dan akan terus meningkat hingga mencapai 22.500 unit pada 2035. Masyarakat dapat mengisi ulang kendaraan bermotor listrik melalui SPKLU. Sedangkan penukaran baterai kendaraan bermotor listrik dapat dilakukan melalui SPBKLU.

Skema bisnis tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020. Aturan ini merupakan pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.

Dalam aturan itu, PLN mendapat tugas menyediakan infrastruktur SPKLU dan SPBKLU. Perusahaan setrum pelat merah ini juga dapat menggandeng berbagai pihak untuk mengikuti skema bisnis tersebut.

Kementerian ESDM juga telah menetapkan tiga tipe stop kontak atau colokan mobil listrik yang akan digunakan di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Ketiga tipe itu adalah AC Charging tipe 2 (Eropa), fast DC charging CHAdeMO (Jepang dan Amerika Serikat), dan DC Charging Combo tipe 2 CCS (Eropa).

Lima Pemain Mobil Listrik di Indonesia (Katadata)

Kontribusi PLTU Perlu Dikurangi

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat peralihan ke mobil listrik merupakan langkah penting untuk melakukan transisi hijau, dari energi fosil ke ramah lingkungan. World Economic Forum telah menyebutkan ada tiga sistem sosial-ekonomi yang memerlukan transisi saat ini.

Yang pertama adalah pangan, penggunaan lahan, dan laut. Kedua, infrastruktur dan lingkungan buatan. Terakhir, energi dan industri ekstraktif. "Mobil listrik terkait poin ketiga," ujarnya. Selain penting untuk lingkungan, transisi energi juga membuka memunculkan peluang bisnis dan lapangan pekerjaan baru.

Pemerintah dapat memulainya dari sektor transportasi. "Di kota-kota besar harus ada akses yang nyaman ke moda transportasi publik berenergi listrik," ujarnya. Percepatan industri EV di Indonesia dapat pula menjadi momentum untuk melakukan reindustrialisasi dengan fokus pada perekonomian bernilai tambah tinggi dan ramah lingkungan.

Namun, pekerjaan rumah terbesar pemerintah adalah melakukan transisi energi di bidang pembangkit listrik. Saat ini 54% listrik Indonesia masih berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara atau PLTU. Tujuan pengurangan emisi, menurut Tata, tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan sektor transportasi.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma mengatakan mobil listrik merupakan fenomena yang sulit dibendung karena perkembangan dunia yang menuntut efisiensi dan penurunan emisi gas rumah kaca. Berbagai negara di dunia sudah mencanangkan untuk meningkatkan penggunaan mobil listrik, termasuk AS, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa.

Kondisi itu bakal membuat industrinya tumbuh pesat. Apabila Indonesia tidak mengantisipasinya dengan baik, maka akan tertinggal. Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan industri ini dengan tepat. "Jangan sampai, mobilnya listrik, tapi energinya tetap saja batu bara," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan