LIPI Jadi Koordinator Riset Baterai dan Kendaraan Listrik Nasional

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww.
Teknisi melakukan perawatan mesin mobil listrik Itenas Sergap Senyap EV (Electric Vehicle) di Lab Mesin Institut Teknologi Nasional (Itenas), Bandung, Jawa Barat, Rabu (11/11/2020).
30/11/2020, 18.39 WIB

Pemerintah menunjuk Lembaga Ilmu Pengetahuna Indonesia alias LIPI sebagai koordinator riset pengembangan baterai dan kendaraan listrik nasional. Targetnya, pada 2024 Indonesia sudah menguasai teknologi untuk bus listrik ukuran sedang.

Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan, sasaran lainnya adalah memproduksi kendaraan listrik tanpa sopir atau otonom. “Untuk penumpang satu dan dua orang, tidak perlu ada pengemudi, tapi memakai kontrol dan sistem cerdas,” katanya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR, Senin (30/11). Mobil otonom ini rencananya akan beroperasi khusus di kawasan tertutup. 

Dalam menggenjot electric vehicle (EV), perlu peninjauan awal mengenai ukuran kendaraan. Setelah itu, baru proses pengembangan baterai, stasiun pengisian, dan sistem kontrol.

Laksana menyebut pengembangan bus listrik ukuran sedang atau besar masih membutuhkan waktu. Tahun depan targetnya adalah pengembangan mobil otonom dan kendaraan listrik yang dapat dipakai di kawasan tertentu. “Misalnya, di kebun raya, perkantoran, dan sebagainya. Bukan jalan umum,” ujarnya. 

LIPI juga sedang mengembangkan motor listrik dari material magnet. Nantinya, teknologi ini dapat diaplikasikan untuk pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mencoba mengolah dan memanfaatkan limbah-limbah untuk mendapatkan material neodymium. Bahan ini sebagai pembuat magnet permanen yang diperlukan dalam pengembangan kendaraan listrik.

Pengembangannya saat ini masih berjalan. “Indikasinya sudah sangat baik. Kalau jadi, kami dapat bekerja sama dengan salah satu badan usaha milik negara (BUMN) pertambangan,” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana. 

Peluang Jadi Produsen Baterai Lithium-Ion

Peluang Indonesia menjadi produsen baterai lithium-ion terbesar di dunia memang cukup terbuka lebar. Salah satu bahan bakunya, yaitu nikel, cukup melimpah. Negara ini memiliki cadangan komoditas tambang itu yang terbesar di dunia. 

Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total produksi nikel di dunia pada tahun lalu berada di angka 2,6 juta ton. Sementara secara global, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia dengan menghasilkan 800 ribu ton.

Puncak produksi olahan nikel terjadi pada tahun lalu. Kementerian ESDM mencatat produk olahannya mencapai hampir 2 ton. Angka ini melebihi target 860 ribu ton karena ada tambahan produksi dari pabrik pemurnian atau smelter PT Virtue Dragon di Konawe, Sulawesi Tenggara, yang menghasilkan 745 ribu ton.

Jumlah smelter nikel di Indonesia merupakan yang terbesar dibandingkan pabrik pemurnian mineral lainnya. Selain Virtue Dragon dari Tiongkok, pemilik lainnya adalah PT Aneka Tambang Tbk, PT Vale Indonesia, PT Fajar Bhakti, PT Sulawesi Mining Investment, PT Gabe, PT Cahaya Modern, PT Indoferro, PT Century Guang Ching, PT Titan, PT Bintang Timur, dan PT Megah Surya Pertiwi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pengembangan industri baterai perlu mendapat jaminan pasokan bahan baku utamanya. Indonesia merupakan penghasil nikel dan kobalt tapi tidak memiliki lithium. "Negara terdekat yang memproduksinya adalah Australia," ujarnya pada pekan lalu. 

Pemerintah juga perlu menyiapkan industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang akan menyerap produksi baterai lithium. Penyerapannya tak cukup hanya untuk kendaraan berpenumpang roda empat, tapi juga bus dan kendaraan roda dua. Jaminan permintaan pasar ini akan memberi kepastian pada sektor hulu (tambang nikel) hingga hilirnya (pabrik baterai).

Reporter: Verda Nano Setiawan