Potensi pemanfaatan minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) untuk bahan baku biodiesel sangat besar. Pertamina sedang melakukan kajian untuk memanfaatkan peluang tersebut.
“Sedang kami evaluasi dan analisis untuk dijadikan bahan bakau biodiesel, baik itu dalam co-processing dan standalone,” kata Vice President Business Development Kilang Pertamina Internasional (Subholding Refining & Petrochemical) Diandoro Arifin dalam acara Katadata Future Energy Tech and Innovation Forum 2021, Selasa (9/3).
Yang menjadi perhatian Pertamina adalah mengenai regulasinya. Apabila minyak jelantah masik dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), perusahaan harus memiliki berbagai izin. Mulai dari penyimpanan, pengangkutan, pengoperasian, dan lainnya.
Kemudian, yang tak kalah krusial adalah ketersedian pasokan minyak jelantahnya. Unit kilang Pertamina akan mengolah bahan bakar nabati (BBN) tersebut selama 24 jam per hari. Artinya, ketersediaan bahan baku sangat penting.
Karena itu, perlu regulasi juga tentang penyimpanan dan pengangkutan minyak goreng bekas tersebut. "Kalau semua clear, (minyak jelantah) bisa kami gunakan sebagai alternatif bahan baku untuk green diesel," ujar Diandoro.
Bahan Baku Limbah Biodiesel
Fuels Consultant The International Council for Clean Transportation (ICCT) Tenny Kristiana mengatakan Indonesia memiliki ketersediaan bahan baku limbah untuk biodiesel mencapai ribuan ton. Yang berasal dari lemak hewani tidak dapat dimakan sebesar 205 ton, limbah minyak ikan 240 ton, lumpur sawit 500 ton, tall oil 270 ton, dan minyak goreng bekas sebesar 2.700 ton.
Dari kelima limbah tersebut, setidaknya ada sekitar 3.915 ton yang dapat digunakan untuk produksi biodiesel. Total produksinya dapat mencapai 4,6 miliar liter biodiesel. Pertamina yang akan memproduksi green diesel pun dapat memanfaatkan kelima jenis limbah itu.
Yang utama adalah perusahaan harus memastikan bahan baku ini dapat tersedia berkelanjutan. "Tapi bukan berarti itu tidak bisa dilakukan," kata Tenny.
Di Sulawesi Selatan dan Kalimantan, misalnya, telah tersedia tempat pengumpulan minyak jelantah. Wilayah tersebut juga mampu memproduksi biodiesel yang digunakan untuk bahan bakar para nelayan.
Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna sebelumnya mengatakan, minyak jelantah memiliki berbagai kegunaan, terutama untuk biodiesel. "Kalau kita kelola (minyak jelantah) dengan baik, dapat memenuhi sebagian kebutuhan biodiesel nasional," ujarnya.
Selain itu, pengembangan BBN berbasis minyak jelantah juga memiliki peluang untuk dipasarkan baik di dalam negeri maupun untuk ekspor. Dengan memanfaatkan minyak jelantah, biaya produksi pun bisa lebih hemat 35%, dibandingkan dengan biodiesel dari minyak nabati lainnya.
Pemanfaatan biodiesel dalam skala besar selama ini memakai bahan baku minyak kelapa sawit atau CPO. "Tapi, pemanfaatan minyak jelantah harus dilihat kembali karena ada hal-hal yang mempengaruhi biaya operasionalnya," kata dia.
Minyak jelantah Indonesia laris di pasar internasional. Berdasarkan data UN Comtrade dengan kode HS 151800, pada tahun 2019, 10 negara dari benua Eropa, Asia, dan Amerika menjadi negara tujuan utama ekspor minyak jelantah Indonesia. Paling banyak diekspor ke Belanda dengan nilai mencapai US$ 23,6 juta, disusul Singapura sebesar US$ 22,3 juta.
Belanda dan Singapura memanfaatkan minyak jelantah jadi bahan bakar kendaraan. Pemanfaatan biodiesel untuk kendaraan di Belanda telah mengurangi 91,7 persen emisi karbon dioksida (CO2) dibandingkan solar biasa. Berdasarkan data International Council on Clear Transportation (ICCT), potensi minyak jelantah di Indonesia sebanyak 1,6 miliar liter per tahun. Jumlah ini bisa memenuhi 32% kebutuhan biodiesel nasional.